Saturday, November 10, 2018

Kumpulan Sajak-sajak Umi Kulsum



AKAR KETUBAN

Ini kampungku
aku pulang tak berburu kenangan 
ada yang kembali ingin kusinggahi 
seusai perigi di asin sungai ini 

Sangkar burung di pojok ruang 
juga aroma bunga kopi dan setumpuk jerami 
bahkan petuah kakek 
yang mengajarkan bagaimana cara duduk 
belum juga lapuk 

Aku tahu di dalam periuk
akar ketuban itu masih meringkuk 
dan di rumah kuno yang sejak dulu menghadap laut 
tercatat alamatku 

Ke mana pun aku pergi 
niscaya perjalanan akan sampai di sini 
di kampung tubuhku sendiri 

Bantul, 2016


MUSEUM KANVAS

Atapnya lepas
angin dan hujan menerobos ke sana
menghapus warna cat
lukisan-lukisan tua

Palet dan kuas terkulai di lantai
hanya langit abu-abu
yang tersisa
di sobekan kanvas di mana-mana

Dari ruang ke ruang
cahaya remang 
dan kursi sunyi berderit luka
senyum tak ada
Terbang. Terbang kembali ke sorga.

Karangjati, Bantul. 2015


TENTANG SEBUAH KOTA

Inilah kotamu
kota yang dipenuhi lolong anjing dan peluru
ketika tubuhku mencarimu
tak ada lagi tempat berdiri
seluruh gang juga trotoar
menyembunyikan ranjau besar
yang menakutkan

Jalan ke arahmu
sebatas gerbang dijaga panglima
dan aku tak lepas dari tatapannya
dan aku tak bisa berkatakata

Jarak menujumu
lukisan ufuk sangat jauh
seperti surat cinta 
yang tak pernah sempurna dibaca

Inilah kotamu
kota yang tak segan-segan mengasingkanku
ketika aku mencintaimu

Karangjati, Bantul. 2015


TRAGEDI

Kau menyembunyikanku di sepatu 
ketika seseorang kau letakkan 
di dalam tas mewah dan topi baretmu 
dan ketika mencintaimu 
aku harus rela melepasmu 
seperti tanaman 
yang menikmati gugur kelopak bunga

Aku tahu
kesedihanku tumbuh sesubur jamur 
yang tak kau ketahui 
sejak kapan luka kau letakkan!

Demi harga diri 
aku berkali-kali mengubur diri sendiri 
agar senyummu tetap mekar 
dan orang-orang mengagumimu 
di luar diriku 
sebab aku pun tak mengerti letakku 
sebatas jejak yang terinjak

Lalu, sesekali aku menghiburku 
ketika kepedihan jadi darah 
yang menjalar di tubuhku 
dan kau tak peduli kehormatanku lenyap 
seperti capung terinjak kaki

Ternyata cinta adalah kepasrahan 
menerima luka 
saat kekasih mengunyah bahagia di jauh sana

Yogyakarta, 2016


BAYANG-BAYANG 

Akulah bayang-bayang itu 
yang kauletakkan di rak sepatu 
tanpa tahu ke mana pergimu
 kita seperti majikan dan pembantu 
tak punya hak duduk satu bangku 
dan kota jadi mata hantu yang menakutkan 

Tak ada tempat untuk hidup 
dan hanya orang-orang yang ada di sana 
sebab aku hanya mayat yang terbujur di keranda
sunyi,  tak ada dalam ingatan 

Ketika orang-orang mengabarkan berita lelayu 
kau pun memilih membaca koran 
dan dengan tenang menyobek kertas itu
 â€œAku tak mengenal jenazah itu” katamu
 hanya pedih yang mengantar kepulanganku

Yogyakarta, 2016



BATAS

Ternyata begitu sulit 
mencari batas untuk tak mencintaimu

Kau, cahaya yang bergerak ribuan tahun
seperti kecupan-kecupan kekasih  
yang menaklukkan ombak di mataku
bahkan sejak aku masih abstrak 
dan tak seorang pun tahu
di mana aku tinggal

Aku tahu, hanya engkau yang tahu 
di mana aku berletak
dari yang serba belum dan segala yang sudah
di rahim seorang perempuan 
yang melahirkan peradaban

Aku mencarimu, Kekasih
seperti perahu yang dilajukan nelayan
menempuh laut dari batas daratan
menebarkan jala-jala kilatan bintang
pergi dan pulang bukan lagi ada perbedaan

Aku mencintaimu 
sebelum bunga-bunga mekar
semacam ulat mengunyah daun di tengah hutan
terlambat menjadi kupu memahami waktu
yang makin singkat di masa tuaku
Aku membencimu
seperti curah hujan yang tak mampu 
mematikan tumbuhan
tapi justru membesarkan akar
mengokohkan segala yang ringkih menjadi pohon kekar


Di sinilah, aku menemukanmu
sebagai cinta yang tak pandang bulu
sebab cinta semacam dongeng panjang 
yang dituturkan seorang kakek pada cucunya setiap malam
seberkas nyala lilin yang menerangi ruang di kegelapan
dan menjadi tongkat bagi nenek yang berjalan pincang

Ketika aku merindukanmu
maka jarak menujumu sejauh bintang
berjalan selama ribuan tahun cahaya
dan cahaya itu singgah semalam saja di genting kaca
tanpa bisa berkata-kata kecuali kenyataan yang senantiasa berkata

Ternyata begitu sulit
mencari batas untuk tak mencintaimu!

Bantul, Yogyakarta. 2016


UMI KULSUM,
 pekerja budaya Bantul, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Sejumlah puisinya dimuat di antologi bersama dan media massa. Buku antologi puisi tunggalnya Lukisan Anonim, menerima penghargaan pada Hari Puisi Indonesia 2016. Saat ini aktif bergiat di Sastra Bulan Purnama yang bertempat di Tembi Rumah Budaya Bantul. 


No comments:

Post a Comment

Kumpulan Sajak-sajak Willy Ana