AKAR KETUBAN
Ini kampungku
aku pulang tak berburu kenangan
ada yang kembali ingin kusinggahi
seusai perigi di asin sungai ini
Sangkar burung di pojok ruang
juga aroma bunga kopi dan setumpuk jerami
bahkan petuah kakek
yang mengajarkan bagaimana cara duduk
belum juga lapuk
Aku tahu di dalam periuk
akar ketuban itu masih meringkuk
dan di rumah kuno yang sejak dulu menghadap laut
tercatat alamatku
Ke mana pun aku pergi
niscaya perjalanan akan sampai di sini
di kampung tubuhku sendiri
Bantul, 2016
MUSEUM KANVAS
Atapnya lepas
angin dan hujan menerobos ke sana
menghapus warna cat
lukisan-lukisan tua
Palet dan kuas terkulai di lantai
hanya langit abu-abu
yang tersisa
di sobekan kanvas di mana-mana
Dari ruang ke ruang
cahaya remang
dan kursi sunyi berderit luka
senyum tak ada
Terbang. Terbang kembali ke sorga.
Karangjati, Bantul. 2015
TENTANG SEBUAH KOTA
Inilah kotamu
kota yang dipenuhi lolong anjing dan peluru
ketika tubuhku mencarimu
tak ada lagi tempat berdiri
seluruh gang juga trotoar
menyembunyikan ranjau besar
yang menakutkan
Jalan ke arahmu
sebatas gerbang dijaga panglima
dan aku tak lepas dari tatapannya
dan aku tak bisa berkatakata
Jarak menujumu
lukisan ufuk sangat jauh
seperti surat cinta
yang tak pernah sempurna dibaca
Inilah kotamu
kota yang tak segan-segan mengasingkanku
ketika aku mencintaimu
Karangjati, Bantul. 2015
TRAGEDI
Kau menyembunyikanku di sepatu
ketika seseorang kau letakkan
di dalam tas mewah dan topi baretmu
dan ketika mencintaimu
aku harus rela melepasmu
seperti tanaman
yang menikmati gugur kelopak bunga
Aku tahu
kesedihanku tumbuh sesubur jamur
yang tak kau ketahui
sejak kapan luka kau letakkan!
Demi harga diri
aku berkali-kali mengubur diri sendiri
agar senyummu tetap mekar
dan orang-orang mengagumimu
di luar diriku
sebab aku pun tak mengerti letakku
sebatas jejak yang terinjak
Lalu, sesekali aku menghiburku
ketika kepedihan jadi darah
yang menjalar di tubuhku
dan kau tak peduli kehormatanku lenyap
seperti capung terinjak kaki
Ternyata cinta adalah kepasrahan
menerima luka
saat kekasih mengunyah bahagia di jauh sana
Yogyakarta, 2016
BAYANG-BAYANG
Akulah bayang-bayang itu
yang kauletakkan di rak sepatu
tanpa tahu ke mana pergimu
kita seperti majikan dan pembantu
tak punya hak duduk satu bangku
dan kota jadi mata hantu yang menakutkan
Tak ada tempat untuk hidup
dan hanya orang-orang yang ada di sana
sebab aku hanya mayat yang terbujur di keranda
sunyi, tak ada dalam ingatan
Ketika orang-orang mengabarkan berita lelayu
kau pun memilih membaca koran
dan dengan tenang menyobek kertas itu
“Aku tak mengenal jenazah itu†katamu
hanya pedih yang mengantar kepulanganku
Yogyakarta, 2016
BATAS
Ternyata begitu sulit
mencari batas untuk tak mencintaimu
Kau, cahaya yang bergerak ribuan tahun
seperti kecupan-kecupan kekasih
yang menaklukkan ombak di mataku
bahkan sejak aku masih abstrak
dan tak seorang pun tahu
di mana aku tinggal
Aku tahu, hanya engkau yang tahu
di mana aku berletak
dari yang serba belum dan segala yang sudah
di rahim seorang perempuan
yang melahirkan peradaban
Aku mencarimu, Kekasih
seperti perahu yang dilajukan nelayan
menempuh laut dari batas daratan
menebarkan jala-jala kilatan bintang
pergi dan pulang bukan lagi ada perbedaan
Aku mencintaimu
sebelum bunga-bunga mekar
semacam ulat mengunyah daun di tengah hutan
terlambat menjadi kupu memahami waktu
yang makin singkat di masa tuaku
Aku membencimu
seperti curah hujan yang tak mampu
mematikan tumbuhan
tapi justru membesarkan akar
mengokohkan segala yang ringkih menjadi pohon kekar
Di sinilah, aku menemukanmu
sebagai cinta yang tak pandang bulu
sebab cinta semacam dongeng panjang
yang dituturkan seorang kakek pada cucunya setiap malam
seberkas nyala lilin yang menerangi ruang di kegelapan
dan menjadi tongkat bagi nenek yang berjalan pincang
Ketika aku merindukanmu
maka jarak menujumu sejauh bintang
berjalan selama ribuan tahun cahaya
dan cahaya itu singgah semalam saja di genting kaca
tanpa bisa berkata-kata kecuali kenyataan yang senantiasa berkata
Ternyata begitu sulit
mencari batas untuk tak mencintaimu!
Bantul, Yogyakarta. 2016
UMI KULSUM, pekerja budaya Bantul, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Sejumlah puisinya dimuat di antologi bersama dan media massa. Buku antologi puisi tunggalnya Lukisan Anonim, menerima penghargaan pada Hari Puisi Indonesia 2016. Saat ini aktif bergiat di Sastra Bulan Purnama yang bertempat di Tembi Rumah Budaya Bantul.
Ini kampungku
aku pulang tak berburu kenangan
ada yang kembali ingin kusinggahi
seusai perigi di asin sungai ini
Sangkar burung di pojok ruang
juga aroma bunga kopi dan setumpuk jerami
bahkan petuah kakek
yang mengajarkan bagaimana cara duduk
belum juga lapuk
Aku tahu di dalam periuk
akar ketuban itu masih meringkuk
dan di rumah kuno yang sejak dulu menghadap laut
tercatat alamatku
Ke mana pun aku pergi
niscaya perjalanan akan sampai di sini
di kampung tubuhku sendiri
Bantul, 2016
MUSEUM KANVAS
Atapnya lepas
angin dan hujan menerobos ke sana
menghapus warna cat
lukisan-lukisan tua
Palet dan kuas terkulai di lantai
hanya langit abu-abu
yang tersisa
di sobekan kanvas di mana-mana
Dari ruang ke ruang
cahaya remang
dan kursi sunyi berderit luka
senyum tak ada
Terbang. Terbang kembali ke sorga.
Karangjati, Bantul. 2015
TENTANG SEBUAH KOTA
Inilah kotamu
kota yang dipenuhi lolong anjing dan peluru
ketika tubuhku mencarimu
tak ada lagi tempat berdiri
seluruh gang juga trotoar
menyembunyikan ranjau besar
yang menakutkan
Jalan ke arahmu
sebatas gerbang dijaga panglima
dan aku tak lepas dari tatapannya
dan aku tak bisa berkatakata
Jarak menujumu
lukisan ufuk sangat jauh
seperti surat cinta
yang tak pernah sempurna dibaca
Inilah kotamu
kota yang tak segan-segan mengasingkanku
ketika aku mencintaimu
Karangjati, Bantul. 2015
TRAGEDI
Kau menyembunyikanku di sepatu
ketika seseorang kau letakkan
di dalam tas mewah dan topi baretmu
dan ketika mencintaimu
aku harus rela melepasmu
seperti tanaman
yang menikmati gugur kelopak bunga
Aku tahu
kesedihanku tumbuh sesubur jamur
yang tak kau ketahui
sejak kapan luka kau letakkan!
Demi harga diri
aku berkali-kali mengubur diri sendiri
agar senyummu tetap mekar
dan orang-orang mengagumimu
di luar diriku
sebab aku pun tak mengerti letakku
sebatas jejak yang terinjak
Lalu, sesekali aku menghiburku
ketika kepedihan jadi darah
yang menjalar di tubuhku
dan kau tak peduli kehormatanku lenyap
seperti capung terinjak kaki
Ternyata cinta adalah kepasrahan
menerima luka
saat kekasih mengunyah bahagia di jauh sana
Yogyakarta, 2016
BAYANG-BAYANG
Akulah bayang-bayang itu
yang kauletakkan di rak sepatu
tanpa tahu ke mana pergimu
kita seperti majikan dan pembantu
tak punya hak duduk satu bangku
dan kota jadi mata hantu yang menakutkan
Tak ada tempat untuk hidup
dan hanya orang-orang yang ada di sana
sebab aku hanya mayat yang terbujur di keranda
sunyi, tak ada dalam ingatan
Ketika orang-orang mengabarkan berita lelayu
kau pun memilih membaca koran
dan dengan tenang menyobek kertas itu
“Aku tak mengenal jenazah itu†katamu
hanya pedih yang mengantar kepulanganku
Yogyakarta, 2016
BATAS
Ternyata begitu sulit
mencari batas untuk tak mencintaimu
Kau, cahaya yang bergerak ribuan tahun
seperti kecupan-kecupan kekasih
yang menaklukkan ombak di mataku
bahkan sejak aku masih abstrak
dan tak seorang pun tahu
di mana aku tinggal
Aku tahu, hanya engkau yang tahu
di mana aku berletak
dari yang serba belum dan segala yang sudah
di rahim seorang perempuan
yang melahirkan peradaban
Aku mencarimu, Kekasih
seperti perahu yang dilajukan nelayan
menempuh laut dari batas daratan
menebarkan jala-jala kilatan bintang
pergi dan pulang bukan lagi ada perbedaan
Aku mencintaimu
sebelum bunga-bunga mekar
semacam ulat mengunyah daun di tengah hutan
terlambat menjadi kupu memahami waktu
yang makin singkat di masa tuaku
Aku membencimu
seperti curah hujan yang tak mampu
mematikan tumbuhan
tapi justru membesarkan akar
mengokohkan segala yang ringkih menjadi pohon kekar
Di sinilah, aku menemukanmu
sebagai cinta yang tak pandang bulu
sebab cinta semacam dongeng panjang
yang dituturkan seorang kakek pada cucunya setiap malam
seberkas nyala lilin yang menerangi ruang di kegelapan
dan menjadi tongkat bagi nenek yang berjalan pincang
Ketika aku merindukanmu
maka jarak menujumu sejauh bintang
berjalan selama ribuan tahun cahaya
dan cahaya itu singgah semalam saja di genting kaca
tanpa bisa berkata-kata kecuali kenyataan yang senantiasa berkata
Ternyata begitu sulit
mencari batas untuk tak mencintaimu!
Bantul, Yogyakarta. 2016
UMI KULSUM, pekerja budaya Bantul, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Sejumlah puisinya dimuat di antologi bersama dan media massa. Buku antologi puisi tunggalnya Lukisan Anonim, menerima penghargaan pada Hari Puisi Indonesia 2016. Saat ini aktif bergiat di Sastra Bulan Purnama yang bertempat di Tembi Rumah Budaya Bantul.
No comments:
Post a Comment