10 Adab atau
tata cara Ketika Buang Hajat menurut islam
Siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil, maka hendaklah ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat.
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari
manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى.
“Kami pernah
keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau
tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang
jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”
Kedua: Tidak membawa
sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan
semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama
Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau
mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau
meletakkan cincinnya.” Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang
diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul
bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam
keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh
barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang
tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang
tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar
mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”
Ketiga: Membaca basmalah dan
meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang
hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa
bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di
saat melucuti pakaiannya.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِى آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ
“Penghalang
antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara
mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma
inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa
semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”
Untuk do’a “Allahumma
inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma
inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun).
Bahkan cara baca khubtsi
(dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana
dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah.
Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah
gangguan setan, sedangkan khobaits
adalah maksiat. Jadi, cara baca dengan khubtsi
(dengan ba’ disukun) dan khobaits
itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna
kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.
Keempat: Masuk ke tempat
buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut
dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai
sandal dan menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai
sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang
baik-baik).
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan,
“Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil
syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk
perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas
berdasarkan dalil syar’i dan logika.
Asy Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat
dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk
hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini
berdasarkan dalil yang sifatnya global.
Kelima: Tidak menghadap
kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian
mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya.
Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan,
“Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun
menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami
memohon ampun pada Allah Ta’ala.
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya
di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini
kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan
diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat dan
membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar
bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar
bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini
dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam
Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah
menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat
dan menghadap Syam.”Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi
kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat
memberikan jawaban sebagai berikut.
- Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya.
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
- Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini.
Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih
hati-hati adalah haram secara mutlak menghadap dan membelakangi kiblat ketika
buang hajat.
Keenam: Terlarang berbicara
secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ.
“Ada
seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau
tidak membalasnya.”[20]
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara
dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu
yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga
diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa
menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini
menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam
pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu
kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang
(ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka
dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”
Ketujuh: Tidak buang hajat di
jalan dan tempat bernaungnya manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ ».
“Hati-hatilah
dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya,
“Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat
bernaungnya manusia.”
Kedelapan: Tidak buang hajat di
air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau
berkata,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i
mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun
banyak karena sama-sama dapat mencemari. Dari sini, berarti terlarang kencing
di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat
membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang,
lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang
mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik)
tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang
lain.
Kesembilan: Memperhatikan adab
ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok),
di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan
tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ ، وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ
“Jika salah
seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia
buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah
pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.
2.
Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu
(istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan
batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah
hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ . يَعْنِى يَسْتَنْجِى بِهِ
“Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya
denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga
batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً
“Jika salah
seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka
gunakanlah tiga batu.”
3.
Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan
was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh,
lalu setelah itu beliau memerciki kemaluannya.”
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan
dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci,
[2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau
makanan. Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu
yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar
mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ « غُفْرَانَكَ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka”
(Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa
seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka”
selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk
mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh
karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana
Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.
Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa
kami sajikan di tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman
dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu
menambahkan ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal yang sholih.
sumber : http: //muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/10-adab-ketika-buang-hajat.html
No comments:
Post a Comment