Candi
Cetha terletak di Dukuh Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Candi
Cetha merupakan salah satu candi yang dibangun pada zaman Kerajaan Majapahit,
yaitu pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V. Konon nama Cetha, yang dalam
bahasa Jawa berarti jelas, digunakan sebagai nama dusun tempat candi ini
berada karena dari Dusun Cetha orang dapat dengan jelas ke berbagai arah. Ke
arah utara terlihat pemandangan Karanganyar dan Kota Solo dengan latar
belakang Gunung Merbabu dan Merapi serta, lebih jauh lagi, puncak Gunung
Sumbing. Ke arah barat dan timur terlihat bukit-bukit hijau membentang,
sedangkan ke arah selatan terlihat punggung dan anak-anak Gunung Lawu.
Kompleks
Candi Cetha pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis pada tahun 1842.
Selanjutnya bangunan bersejarah itu banyak mendapat perhatian para ahli
purbakala seperti W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet
Kempers, dan Riboet Darmosoetopo. Pada tahun 1928 Dinas Purbakala mengadakan
penelitian melalui penggalian untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang
lebih lengkap. Bangunan yang ada saat ini, termasuk bangunan-bangunan pendapa
dari kayu, merupakan hasil pemugaran yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an.
Sangat disayangkan bahwa pemugaran atau lebih tepatnya disebut pembangunan
kembali tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek arkeologis, sehingga
keaslian bentuknya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dari
tulisan yang ditemukan di lokasi candi, diketahui bahwa candi ini dibangun
sekitar tahun 1451-1470, yaitu pada masa akhir pemerintahan Kerajaan
Majapahit. Candi Cetha merupakan candi Hindu yang dibangun untuk tujuan
'ruwatan', yaitu ruwatan atau upaya penyelamatan dari malapetaka dan berbagai
bentuk tekanan akibat kekacauan yang sedang berlangsung kala itu. Kenyataan
bahwa candi ini merupakan candi Hindu sangatlah menarik, karena raja-raja
Majapahit menganut ajaran Buddha. 'Penyimpangan' tersebut diduga mempunyai
kaitan erat dengan tujuan pembangunannya. Pada masa itu Kerajaan Majapahit
sedang mengalami proses keruntuhan dengan memuncaknya kekacauan sosial,
politik, budaya dan bahkan tata keagamaan sebelum akhirnya mengalami
keruntuhan total pada tahun 1478 M.
Candi Cetha merupakan kelompok bangunan yang terdiri
atas 11 teras berundak yang membentang arah timur-barat. Teras pertama
terletak di sisi timur, makin ke barat makin tinggi. Masing-masing teras
dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membelah
halaman teras menjadi dua sisi. Di sisi timur teras paling bawah terdapat
sebuah gapura yang merupakan pintu gerbang kompleks Candi Cetha. Di depan
gapura terdapat sebuah arca batu yang disebut arca Nyai Gemang Arum.
Di sisi selatan teras pertama terdapat bangunan
tanpa dinding yang berdiri di atas fondasi setinggi kurang lebih 2 m. Di
dalam bangunan terdapat susunan batu yang tampaknya sering digunakan untuk
meletakkan sesajian. Di ujung barat jalan setapak yang melintasi halaman
teras pertama terdapat gapura batu dengan tangga batu. Tangga menuju teras
berikutnya ini diapit oleh sepasang arca Nyai Agni. Hanya satu dari kedua
arca ini yang masih agak utuh, yaitu masih mempunyai kepala.
Di halaman teras kedua terdapat susunan batu yang
terhampar di halaman, membentuk gambar seekor garuda terbang dengan sayap
membentang. Di punggung garuda terdapat susunan batu yang menggambarkan
seekor kura-kura. Tepat di atas kepala garuda terdapat susunan batu berbentuk
matahari bersinar, segitiga sama kaki dan Kalacakra (kelamin laki-laki). Di ujung
masing-masing sayap garuda terdapat dua bentuk matahari lain.
Garuda adalah burung kendaraan Wisnu yang yang
melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura yang merupakan titisan Wisnu
merupakan simbol dunia bawah. Kura-kura dianggap binatang sakti yang mampu
menyelami samudera untuk mendapatkan air kehidupan (tirta amerta). Adanya
kalacakra di halaman ini yang menyebabkan Candi Cetha disebut sebagai candi
'lanang' (lelaki).
Matahari bersinar 7 (tujuh) melambangkan Sang Surya
yang diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan. Segitiga sama kaki
melambangkan pedoman bagi dunia yang sedang tenggelam kedalam lautan
kegelapan. Di tengah segi tiga sama kaki terdapat lingkaran yang memuat tiga
ekor katak, masing-masing menghadap ke sudut yang berbeda.
Dalam setiap segitiga terdapat lukisan seekor kadal.
Pada garis berat yang membagi sisi timur terdapat bentuk belut bermahkota
dengan gambar ketam di sisi selatan dan mimi (sejenis binatang laut) di sisi
utara. Keseluruhan bentuk tersebut merupakan gambaran harapan akan kesuburan,
baik kesuburan tanah maupun manusia. Segitiga dengan bentuk kelamin laki-laki
di puncaknya melambangkan kesatuan wanita dan pria, dua makhluk yang
berlawanan sifatnya namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai
perlambang jagad kecil (mikrokosmos) dalam diri manusia. Di sisi barat teras
kedua, masing-masing di kiri dan kanan tangga menuju teras berikutnya,
terlihat dua buah ruangan yang hanya tinggal fondasinya saja. Tangga menuju
teras berikutnya merupakan susunan batu andesit yang susunannya tidak rapi.
Di kiri dan kanan tangga terdapat reruntuhan batu yang tidak jelas bentuk
aslinya.
Teras
ketiga merupakan halaman yang tidak terlalu luas. Seperti yang terdapat di
teras sebelumnya, di sisi barat teras ini juga terdapat sepasang ruangan yang
mengapit jalan menuju tangga ke teras yang lebih atas. Di dalam ruangan
terdapat susunan batu membentuk segi empat membujur dari utara ke selatan.
Pada dinding susunan batu tampak relief bergambar orang dan binatang. Konon
relief tersebut merupakan cuplikan dari Kidung Sudamala. Relief yang dengan
tema Kidung Sudamala juga terdapat di Candi Sukuh. Relief ini yang menguatkan
dugaan bahwa Candi Cetha dibangun untuk tujuan 'ruwatan'. Tangga menuju teras
berikutnya terbuat dari batu andesit yang sangat rapi susunannya, dibuat
bertingkat dengan jeda (landing) yang cukup lebar di setiap tingkat. Tebing
di kira dan kanan tangga disangga oleh turap batu bersusun. Tidak didapat
informasi apakah tangga ini merupakan hasil pemugaran yang pernah dilakukan
sebelumnya atau merupakan tangga yang asli.
Di sisi dalam (barat) teras keempat terdapat
sepasang arca Bima yang menjaga sebuah tangga batu menuju teras kelima. Teras
kelima merupakan halaman dengan sepasang bangunan beratap, yang disebut
pendapa luar. Bangunan tanpa dinding tersebut mengapit jalan menuju tangga ke
teras ke enam. Menurut keterangan yang didapat dari juru kunci, pendapa luar
merupakan ruang tunggu bagi tamu yang akan menghadap Sang Prabu Brawijaya.
Di sisi
barat teras ke enam, di depan kaki tangga, terdapat sebuah arca Kalacakra dan
sepasang arca Ganesha. Tangga menuju teras ketujuh ini juga sangat rapi
susunannya dan dibuat bertingkat 3. Tebing di kiri kanan tangga diperkuat
dengan turap batu. Di puncak tangga terdapat gapura yang merupakan pintu
masuk ke teras ketujuh, yang merupakan halaman yang dikelilingi oleh dinding
batu. Mirip dengan pendapa luar, di teras ini juga terdapat sepasang pendapa
beratap tanpa dinding. Teras ini disebut pendapa dalam. Di sisi barat pendapa
dalam terdapat tangga menuju di teras berikutnya.
Teras
kedelapan merupakan sebuah ruangan yang digunakan untuk bersembahyang. Di
depan pintu ruangan terdapat dua buah arca batu dengan tulisan Jawa yang
menunjukkan tahun dibangunnya Candi Cetha. Di sisi barat, di belakang
ruangan, terdapat tangga menuju teras kesembilan.
Di kiri dan kanan sisi barat teras kesembilan
terdapat ruangan yang menghadap ke timur. Kedua ruangan tersebut berfungsi
sebagai tempat penyimpanan benda kuno. Di sisi timur, berseberangan dengan masing-masing
ruang penyimpanan tersebut terdapat dua bangunan. Bangunan di sisi utara
berisi arca Sabdapalon dan yang di sisi selatan berisi arca Nayagenggong.
Keduanya merupakan tokoh punakawan (pengasuh sekaligus penasehat kerajaan)
pada masa itu.
Sisi barat
teras kesembilan dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura
masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke sebuah ruangan di teras
kesepuluh.
Di masing-masing sisi ruang ini terdapat tiga buah
bangunan kayu yang saling berhadapan. Dalam masing-masing bangunan terdapat
sebuah arca. Salah satu di antara deretan arca yang terletak di deretan utara
adalah arca Prabu Brawijaya. Di deretan selatan, lagi-lagi, terdapat arca
Kalacakra. Ujung barat deretan selatan merupakan tempat penyimpanan pusaka
Empu Supa. Empu Supa adalah seorang empu (pembuat senjata pusaka) yang
terkenal dan dihormati pada masa hidupnya. Sisi barat teras kesepuluh
dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura masuk ke sebuah
lorong tangga batu menuju ke teras kesebelas.
Di puncak lorong terdapat sebuah dinding batu
setinggi sekitar 1,60 meter yang menyekat tangga dengan ruang utama, berupa
bangunan tanpa atap, dikelilingi dinding batu setinggi hampir 2 m, dengan
luas sekitar 5 m2. Ruang utama yang merupakan pesanggrahan Prabu Brawijaya
ini letaknya lebih tinggi dari semua ruang lain, sehingga dari tempat ini
dapat dilihat dengan jelas ruang-ruang di bawahnya.
Bangunan
utama Candi Cetha terletak di halaman paling belakang dan di teras yang
paling tinggi serta menghadap ke puncak gunung. Hal ini mencerminkan
keyakinan bahwa kekeramatan candi merupakan bagian dari alam di sekitarnya.
Arsitektur Candi Cetha didasarkan pada konsep bahwa dewa-dewa bukan
bersemayam di langit, melainkan di puncak gunung. Gunung adalah sumber enerji
yang nampak maupun tidak nampak. Bahwa bangunan utama candi ini justru
terletak di halaman paling atas dan paling bagian belakang, berbeda dengan
konsep candi pada umumnya yang menempatkan ruang bagian depan sebagi pusat
dari seluruh kegiatan, mirip dengan yang didapati di Candi Panataran, Blitar.
Jauh di barat kompleks candi ini, di sebuah dataran yang agak tinggi,
terdapat 'sendang' atau kolam tempat mandi para selir raja beserta
dayang-dayangnya. Sayang sekali bahwa sendang ini tak terawat, berbeda dengan
candi yang selalu dibersihkan setidaknya setahun sekali.
Sampai
saat ini Candi Cetha masih digunakan sebagai tempat beribadah dan dikunjungi
umat Hindu, terutama pada hari Selasa dan Jumat seitap tanggal 1 Sura
(penanggalan Jawa). Setiap 6 bulan sekali di candi ini diselenggarakan
peringatan Wuku Medangsia. Selain umat Hindu, banyak juga wisatawan yang
mengunjungi candi ini, baik pria maupun wanita. Ada satu pantangan bagi
pengunjung wanita, yaitu mengenakan rok. Dianjurkan bagi wanita yang berkunjung
agar memakai celana panjang. Mungkin pantangan tersebut berkaitan dengan
keyakinan bahwa Candi Cetha adalah candi lanang (candi laki-laki), yaitu
candi yang banyak menggambarkan bagian sensitif tubuh pria.
Candi
Cetha mempunyai kaitan erat dengan Candi Sukuh yang letaknya relatif
berdekatan. Candi Sukuh yang didirikan pada tahun 1440 M terletak di dataran
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Candi Cetha.
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_sari
No comments:
Post a Comment