Candi Prambanan terletak di lingkungan Taman Wisata
Prambanan, kurang lebih 17 km ke arah timur dari Yogyakarta, tepatnya di Desa
Prambanan Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya hanya sekitar 100 m dari jalan raya
Yogya-Solo, sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Sebagian dari kawasan
wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m di atas permukaan laut ini
termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. sedangkan sebagian lagi masuk dalam
wilayah Klaten.
Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat
ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa,
namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar pertengahan abad
ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Dugaan
tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar
Prambanan dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti
berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan.
Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak
pernah selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu
Candi Syiwa, dilaporkan oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan
pencatatan pertama dilaksanakan di bawah pengawasan Groneman. Penggalian
diselesaikan pada tahun 1885, meliputi pembersihan semak belukar dan
pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.
Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp.
Pengelompokan dan identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih
rinci. Pada tahun 1918, pemugaran terhadap Candi Prambanan dilanjutkan
kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst) yang
dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari reruntuhan Candi
Syiwa dapat direkonstruksi kembali.
Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan
untuk melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan
panitia ini, selain pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan
hasilnya, dimulai juga persiapan pembangunan Candi Apit.
Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada
tahun 1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran
terpaksa dihentikan pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih
pemerintahan di Indonesia. Setelah melalui proses panjang dan
tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun 1953
pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit dinyatakan selesai. Sampai saat ini,
pemugaran Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara bertahap.
Denah asli Candi Prambanan berbentuk persegi
panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran, yaitu Jaba (pelataran
luar), Tengahan (pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar
merupakan areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar
berbentuk bujur dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh
pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran luar saat ini hanya
merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat bangunan
atau hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah
yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga
dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri
atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama,
yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling,
terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di
teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di
teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di
pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah
dasar 6 m2 dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut
saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang
dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi
empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas
pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di
keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura
di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran
teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1,
5 m2 dengan tinggi 4 m.
Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang
membujur arah utara selatan. Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang
menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di
tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di barisan
timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini
disebut candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi
nama sesuai dengan binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya
terletak di hadapannya.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan
dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan
Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling
berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi
mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar
seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong
masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang
disebut Candi Apit.
CANDI
SYIWA
Pada saat ditemukan, Candi Syiwa berada dalam
kondisi rusak berat. Pemugarannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu
dimulai pada tahun 1918 dan baru selesai pada tahun 1953. Dinamakan Candi
Syiwa karena di dalam candi ini terdapat Arca Syiwa. Candi Syiwa dikenal juga
dengan nama Candi Rara Jonggrang, karena dalam salah satu ruangannya terdapat
Arca Durga Mahisasuramardani, yang sering disebut sebagai Arca Rara
Jonggrang. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Candi
Syiwa, yang terletak di tengah barisan barat, merupakan candi terbesar. Denah
dasarnya berbentuk bujur sangkar seluas 34 m2 dengan tinggi 47 m.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang
letaknya berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang
berdiri di antara dua pohon kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki
Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.
Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan singa di atas
diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang binatang yang sedang
berteduh di bawah sebatang pohon kalpataru yang tumbuh dalam jambangan.
Berbagai binatang yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak,
kijang, kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger dua
ekor burung.
Pada sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki
Candi Syiwa maupun candi besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti
dengan panil ber gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala manusia,
yang juga sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.
Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Tangga atas ini
dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan
sulur-suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga
yang menganga lebar dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan
tangga terdapat candi kecil yang beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di
keempat sisi tubuhnya.
Di puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju
lorong di permukaan batur. Di atas ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara
yang indah. Di balik gapura terdapat sepasang candi kecil yang mempunyai
relung di tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan Nandiswara,
dewa-dewa penjaga pintu.
Di permukaan batur terdapat selasar selebar sekitar
1 m yang mengelilingi tubuh candi. Selasar ini dilengkapi dengan pagar atau
langkan, sehingga bentuknya mirip sebuah lorong tanpa atap. Lorong berlangkan
ini berbelok-belok menyudut, membagi dinding candi menjadi 6 bagian.
Sepanjang dinding tubuh candi dihiasi deretan pahatan Arca Lokapala. Lokapala
adalah dewa-dewa penjaga arah mata angin, seperti Bayu, Indra, Baruna, Agni
dan Yama.
Sepanjang sisi dalam dinding langkan terpahat relief
Ramayana. Cerita Ramayana ini dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari
adegan Wisnu yang diminta turun ke bumi oleh para raja guna mengatasi
kekacuan yang diperbuat oleh Rahwana dan diakhiri dengan adegan selesainya
pembangunan jembatan melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan
cerita Ramayana terdapat dinding dalam langkan Candi Brahma.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di
bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan
hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat 2 motif pahatan yang
ditampilkan berselang-seling, yaitu gambar 3 orang yang berdiri sambil berpegangan
tangan dan 3 orang yang sedang memainkan berbagai jenis alat musik.
Pintu masuk ke ruangan-ruangan dalam tubuh candi
terdapat di teras yang lebih tinggi lagi. Untuk mencapai teras atas, terdapat
tangga di depan masing-masing pintu ruangan. Dalam tubuh candi terdapat empat
ruangan yang mengelilingi ruangan utama yang terletak di tengah tubuh candi.
Jalan masuk ke ruangan utama adalah melalui ruang yang menghadap ke timur.
Ruangan ini ruangan kosong tanpa arca atau hiasan apapun. Pintu masuk ke ruang
utama letaknya segaris dengan pintu masuk ke ruang timur. Ruang utama ini
disebut Ruang Syiwa karena di tengah ruangan terdapat Arca Syiwa Mahadewa,
yaitu Syiwa dalam posisi berdiri di atas teratai dengan satu tangan terangkat
di depan dada dan tangan lain mendatar di depan perut. Arca Syiwa tersebut
terletak di atas umpak (landasan) setinggi sekitar 60 cm, berbentuk yoni
dengan saluran pembuangan air di sepanjang tepi permukaannya. Konon Arca
Syiwa ini menggambarkan Raja Balitung dari Mataram Hindu (898 - 910 M) yang
dipuja sebagai Syiwa.
Tidak terdapat pintu penghubung antara Ruang Syiwa
dengan ketiga ruang di sisi lain. Ruang utara, barat, dan selatan memiliki
pintu sendiri-sendiri yang terletak tepat di depan tangga naik ke teras atas.
Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga sebagai
dewi kematian, yang menggambarkan permaisuri Raja Balitung. Durga digambarkan
sebagai dewi bertangan delapan dalam posisi berdiri di atas Lembu Nandi
menghadap ke Candi Wisnu. Satu tangan kanannya dalam posisi bertelekan pada
sebuah gada, sedangkan ketiga tangan lainnya masing-masing memegang anak
panah, pedang dan cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala Asura, raksasa
kerdil yang berdiri di atas kepala mahisa (lembu), sedangkan ketiga tangan
lainnya memegang busur, perisai dan bunga. Arca Durga ini oleh masyarakat
sekitar disebut juga Arca Rara Jonggrang, karena arca ini diyakini sebagai
penjelmaan Rara Jonggrang. Rara Jonggrang adalah putri raja dalam legenda
setempat, yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bandawasa.
Dalam ruang barat terdapat Arca Ganesha dalam posisi
bersila di atas padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak
kaki saling bertemu. Kedua telapak tangan menumpang di lutut dalam posisi
tengadah, sementara belalainya tertumpang dilengan kiri. Arca Ganesha ini
menggambarkan putra mahkota Raja Balitung. selempang di bahu menunjukkan
bahwa ia juga seorang panglima perang.
Dalam
ruang selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru. Arca ini meliliki
postur tubuh agak gemuk dan berjenggot. Syiwa Mahaguru digambarkan dalam
posisi berdiri menghadap ke Candi Brahma di selatan dengan tangan kanan
memegang tasbih sdan tangan kiri memegang sebuah kendi. Di belakangnya, di
sebelah kiri terdapat pengusir lalat dan di sebelah kanan terdapat trisula.
Konon Arca Syiwa Mahaguru ini menggambarkan seorang pendeta penasihat
kerajaan.
Candi Wisnu terdapat di sebelah utara Candi Syiwa.
Tubuh candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Tangga
untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Di sepanjang dinding
tubuh candi berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan
panil yang memuat relief Krisnayana. Krisnayana adalah kisah kehidupan Krisna
sejak ia dilahirkan sampai ia berhasil menduduki tahta Kerajaaan Dwaraka.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di
bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan
hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang
menggambarkan Wisnu sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi
tangan.
Candi Wisnu hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu
pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Wisnu
dalam posisi berdiri di atas 'umpak' berbentuk yoni. Wisnu digambarkan
sebagai dewa bertangan 4. Tangan kanan belakang memegang Cakra (senjata
Wisnu) sedangkan tangan kiri memegang tiram. Tangan kanan depan memegang gada
dan tangan kiri memegang setangkai bunga teratai.
Candi
Brahma letaknya di sebelah selatan Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas
batur yang membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi
berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang
dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan cerita
Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita Ramayana di
Candi Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu adiknya, Laksmana, dan
bala tentara kera melawan Rahwana sampai pada Sinta pergi mengembara ke hutan
setelah diusir oleh Rama yang meragukan kesuciannya. Sinta melahirkan
putranya di hutan di bawah lindungan seorang pertapa.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di
bawah ratna, menghadap ke luar, terdapat relung kecil dengan hiasan
Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan
Brahma sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
Candi Brahma juga hanya mempunyai 1 ruangan dengan
satu pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca
Brahma dalam posisi berdiri di atas umpak berbentuk yoni. Brahma digambarkan
sebagai dewa yang memiliki empat wajah, masing-masing menghadap ke arah yang
berbeda, dan dua pasang tangan. Pada dahi di wajah yang menghadap ke depan
terdapat mata ketiga yang disebut 'urna'. Patung Brahma itu sebetulnya sangat
indah, tetapi sekarang sudah rusak. Dinding ruang Brahma polos tanpa hiasan.
Pada dinding di setiap sisi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi
sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI
WAHANA
Candi
Nandi. Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu
ke Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa. Jika
dibandingkan dengan Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan
dan kirinya, Candi Nandi mempunyai bentuk yang sama, hanya ukurannya sedikit
lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi
sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada dinding kaki terdapat
dua motif pahatan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama merupakan
gambar singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru dan yang kedua
merupakan gambar sepasang binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di
atas pohon bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat
juga pada candi wahana lainnya.
Candi Nandi memiliki satu ruangan dalam tubuhnya.
Tangga dan pintu masuk ke ruangan terletak di sisi barat. Dalam ruangan
terdapat Arca Lembu Nandi, kendaraan Syiwa, dalam posisi berbaring menghadap
ke barat. Dalam ruangan tersebut terdapat juga dua arca, yaitu Arca Surya
(dewa matahari) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh
ekor kuda dan Arca Candra (dewa bulan) yang sedang berdiri di atas kereta
yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda. Dinding ruangan tidak dihias dan terdapat
sebuah batu yang menonjol pada tiap sisi dinding yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan lampu minyak. Dinding lorong di sekeliling tubuhcandi juga
polos tanpa hiasan pahatan.
Candi
Garuda. Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan Candi
Wisnu. Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan pada kaki
dan tangga Candi Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi Nandi. Walaupun
dinamakan candi Garuda, namun tidak terdapat arca garuda di ruangan dalam
tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat Arca Syiwa dalam ukuran yang lebih
kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa. Arca ini diketemukan tertanam di
bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya bukan di dalam ruangan tersebut.
Candi
Angsa. Candi ini letaknya di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi
Brahma. Angsa merupakan burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan
pada kaki dan tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda.
Ruangan di dalam tubuh candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak
dihias, hanya terdapat batu yang menonjol pada dinding di setiap sisi ruangan
yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI
APIT
Candi Apit merupakan sepasang candi yang saling
berhadapan. Letaknya, masing-masing, di ujung selatan dan ujung utara lorong
di antara kedua barisan candi besar. Kedua candi ini berdenah bujur sangkar
seluas 6 m2 dengan ketinggian 16 m. tubuh candi berdiri di atas batur
setinggi sekitar 2,5 m. Tidak terdapat selasar di permukaan kaki candi.
Masing-masing mempunyai satu tangga menuju satu-satunya ruangan dalam
tubuhnya. Hanya ada hal yang istimewa tentang candi ini, ialah ketika candi
ini sudah selesai di bangun kembali, kelihatan sangat indah.
CANDI PENJAGA
Selain
keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas, di
pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil, yaitu
dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di
masing-masing sudut latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat
gerbang masuk ke pelataran atas.
Wajah Prambanan sekarang telah terlihat cantik. Di
depan komplek candi, dibangun panggung pentas sendratari Ramayana dan Taman
Wisata Prambanan yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan.
Legenda
Rara Jonggrang
Dahulu
kala di P. Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan yang saling bertetangga,
yaitu Kerajaan Pengging, yang diperintah oleh Raja Pengging, dan Kerajaan
Prambanan, yang diperintah oleh Prabu Baka. Prabu Baka berwujud raksasa yang
bertubuh besar dan mempunyai kesaktian luar biasa. Prabu Baka terkenal kejam
karena, untuk mempertahankan kesaktiannya, ia secara rutin melaksanakan
upacara persembahan dengan mengurbankan manusia. Walaupun wujudnya
menyeramkan dan hatinya kejam, Prabu Baka mempunyai seorang putri yang sangat
cantik, bernama Rara Jonggrang.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin, bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000 candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok bersahutan.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang. Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau memperistri mereka.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin, bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000 candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok bersahutan.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang. Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau memperistri mereka.
Sumber : http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_sari
No comments:
Post a Comment