KH
Zainal Mustafa adalah seorang ulama asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang gugur
ketika melakukan pemberontakan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah RI
mengangkatnya sebagai pahlawan nasional pada 6 Nopember 1972 melalui Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.
KH
Zainal Mustafa lahir di Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya pada
tahun 1899 (pendapat lain menyebut ia lahir tahun 1901 dan 1907) dari pasangan
Nawapi dan Ny. Ratmah. Sewaktu masih kecil ia bernama Umri dan sepulang dari
pesantren berganti nama menjadi Hudaemi. Selain memperoleh pendidikan formal di
Sekolah Rakyat, ia belajar agama dari berbagai pesantren di Jawa Barat yang
membuatnya memiliki pengetahuan agama yang luas dan mahir berbahasa Arab.
Diantaranya Pesantren Gunung Pari selama 7 tahun, Pesantren Cilenga, Singaparna
selama 3 tahun, Pesantren Sukaraja, Garut selama 3 tahun, Pesantren Sukamiskin,
Bandung selama 3 tahun, dan Pesantren Jamanis selama 1 tahun
Pada
1927 KH Zainal Mustafa mendirikan pesantren yang merupakan cita-citanya.
Pesantren yaang ia dirikan dinamai Persantren Sukamanah, bertempat di Kampung
Cikembang Girang Desa Cimerah (sekarang Kampung Sukamanah Desa Sukarapih),
Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Nama Sukamanah merupakan nama pemberian dari
orang yang mewakafkan tanah pesantren tersebut. Beberapa tahun kemudian, tahun
1933 KH Zainal Mustafa bergabung dengan organisasi yang didirikan oleh KH
Hasyim Asy'ari, Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai wakil ro�is Syuriah
NU Cabang Tasikmalaya.
Zainal
Mustafa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut paham
pendidikan yang sifatnya "Non Cooperation", tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah Belanda. Secara terang-terangan ia mengadakan kegiatan yang
membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan
penjajah. Melalui khutbah-khutbahnya ia selalu menyerang kebijakan politik
kolonial Belanda.
Akibatnya
pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustafa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren
Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap pemerintah dengan tuduhan
telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke
penjara Sukamiskin Bandung. Baru bebas pada 10 Januari 1942, namun sebulan
kemudian ditangkap lagi bersama Kiai Rukhiyat atas tuduhan yang sama dan
dimasukkan ke penjara Ciamis.
Pemerintah
Jepang yang menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia Maret 1942 membebaskan
Zainal Mustafa dengan harapan ia dapat membantu Jepang. Namun ia malah
memperingatkan para pengikut dan santrinya bahwa fasisme Jepang itu lebih
berbahaya dari imperialisme Belanda. Ia juga menolak melakukan seikerei, yaitu
memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan diri 90 derajat
(seperti ruku dalam shalat) kearah matahari terbit. Perbuatan tersebut dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam.
Pernah
dalam suatu upacara di lapangan Singaparna, para peserta yang diundang termasuk
KH Zainal Mustafa dipaksa untuk melakukan seikerei dibawah todongan senjata
Jepang. Semua peserta upacara tidak kuasa menolak karena nyawa yang terancam.
Namun K.H. Zainal Mustafa dengan tegas menolak dan tetap duduk dengan tenang.
Akibat perbuatan tersebut telah menimbulkan ketegangan antara penguasa Jepang
dengan K.H. Zainal Mustafa serta para pengikutnya.
Dalam
setiap dakwahnya KH Zainal Mustafa selalu menekankan pentingnya berjuang
melawan penjajah kafir Jepang yang lebih kejam dari Belanda dengan
mendengungkan perang jihad. K.H. Zaenal Mustafa juga menggiatkan santrinya
untuk melakukan latihan fisik dengan melakukan latihan beladiri pencak silat.
Setiap hari di pesantren Sukamanah sibuk dengan latihan perang-perangan dan
pengajian untuk mempertebal semangat berjuang.
Secara
diam-diam santri Sukamanah telah merencanakan untuk melakukan tindakan sabotase
terhadap pemerintah Jepang. Sekelompok kecil santri yang terlatih akan dikirim
ke kota Tasikmalaya untuk melakukan gerakan yang merugikan pemerintah Jepang.
Misalnya, penculikan para pembesar Jepang, membebaskan tahanan politik, merusak
dan menghancurkan sarana-sarana umum seperti kawat telepon dan sarana penting
yang kemungkinan dapat dipergunakan oleh tentara Jepang.
Persiapan
para santri ini tercium Jepang hingga mereka mengirim camat Singaparna disertai
11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan
penangkapan. Usaha ini tidak berhasil, bahkan mereka ditahan di rumah KH Zainal
Mustafa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka
dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Peristiwa
ini merupakan awal dari peristiwa bersejarah yaitu perlawanan terbuka santri
Pesantren Sukamanah yang mengakibatkan gugurnya puluhan santri Sukamanah. Para
santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di
Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya
karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung
sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan)
sebanyak 10 orang.
Selain
itu sekitar 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di
Tasikmalaya. KH. Zainal Mustafa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada
para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat
dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang,
dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh
KH. Zainal Mustafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah,
termasuk KH. Zainal Mustafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun
mereka hilang tak tentu rimbanya.
Belakangan, Kepala
Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zainal Mustafa telah
dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol,
Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat,
pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta
Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam
tentara Belanda. Pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke
Sukamanah, Tasikmalaya.
No comments:
Post a Comment