Candi Baka terletak sekitar 3 km ke arah selatan
dari Candi Prambanan atau sekitar 19 km ke arah selatan dari kota Yogyakarta.
Kawasan Candi Ratu Baka yang berlokasi di atas sebuah bukit dengan ketinggian
± 195.97 m diatas permukaan laut, meliputi dua desa, yaitu Desa Sambirejo dan
Desa Dawung.
Situs Ratu Baka sebenarnya bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka. Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu. Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.
Kraton Ratu Baka ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Pada tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno tersebut. Penemuannya dipublikasikan sehingga menarik minat para ilmuwan seperti Makenzie, Junghun, dan Brumun yang melakukan pencatatan di situs tersebut pada tahun 1814. Pada awal abad ke-20, situs Ratu Baka diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko. Ketika Mackenzie mengadakan penelitian, ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan berkepala dewa sedang berpeluk-pelukan. Dan di antara tumpukan batu juga diketemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.
Di situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 792 M yang dinamakan Prasasti Abhayagiriwihara. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu Baka dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan huruh pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Nama yang sama juga disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasati Mantyasih (907 M), dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kata abhaya berarti tanpa hagaya atau damai, giri berarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni, yaitu tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing.
Kraton Ratu Baka yang menempati lahan yang cukup luas tersebut terdiri atas beberapa kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.
Situs Ratu Baka sebenarnya bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka. Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu. Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.
Kraton Ratu Baka ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Pada tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno tersebut. Penemuannya dipublikasikan sehingga menarik minat para ilmuwan seperti Makenzie, Junghun, dan Brumun yang melakukan pencatatan di situs tersebut pada tahun 1814. Pada awal abad ke-20, situs Ratu Baka diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko. Ketika Mackenzie mengadakan penelitian, ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan berkepala dewa sedang berpeluk-pelukan. Dan di antara tumpukan batu juga diketemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.
Di situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 792 M yang dinamakan Prasasti Abhayagiriwihara. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu Baka dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan huruh pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Nama yang sama juga disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasati Mantyasih (907 M), dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kata abhaya berarti tanpa hagaya atau damai, giri berarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni, yaitu tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing.
Kraton Ratu Baka yang menempati lahan yang cukup luas tersebut terdiri atas beberapa kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.
Gerbang
Gerbang masuk ke kawasan wisata Ratu Baka terletak di sisi barat. Kelompok gerbang ini terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 m. Pintu masuk terdiri atas dua gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih besar merupakan gerbang utama.
Gerbang masuk ke kawasan wisata Ratu Baka terletak di sisi barat. Kelompok gerbang ini terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 m. Pintu masuk terdiri atas dua gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih besar merupakan gerbang utama.
Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa yang
berjajar arah utara-selatan, berhimpitan menghadap ke timur. Gapura terbesar,
yang merupakan gapura utama, terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga
gapura tersebut terletak di teras yang tinggi, sehingga untuk sampai ke
pelataran teras orang harus menaiki dua tangga batu, masing-masing setinggi
sekitar 2,5 m. Dinding teras diberi penguat berupa turap yang terbuat dari
susunan batu andesit. Tak satupun dari ketiga gapura tersebut yang atapnya
masih utuh, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
Sekitar 15 m dari gerbang luar berdiri gerbang dalam
atau gerbang utama. Gerbang ini terdiri atas 5 gapura paduraksa yang bebaris
sejajar dengan gerbang luar. Gapura utama diapit oleh dua gapura pengapit di
setiap sisi. Walaupun gerbang dalam ini terdiri atas lima gapura, namun
tangga yang tersedia hanya tiga. Dua gapura pengapit yang kecil tidak
dihubungkan dengan tangga. Tangga naik dilengkapi dengan pipi tangga dengan
hiasan 'ukel' (gelung) di pangkal dan kepala raksasa di puncak pipi tangga.
Dinding luar pipi tangga juga dihiasi dengan pahatan bermotif bunga dan
sulur-suluran. Atap gapura utama sudah hilang sehingga tidak diketahui bentuk
aslinya, namun atap gapura pengapit yang masih utuh berbentuk limasan dengan
puncak berbentuk ratna.
Candi
Batukapur
Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5 m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti kayu dan sirap atau genteng biasa.
Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5 m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti kayu dan sirap atau genteng biasa.
Candi
pembakaran
Candi pembakaran berbentuk teras tanah berundak
setinggi 3 m. Letaknya sekitar 37 m ke arah timur laut dari gerbang utama.
Bangunan ini berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 26 m2. Teras kedua
lebih sempit dari teras pertama, sehingga membentuk selasar di sekeliling
teras kedua. Permukaan teras atas atau teras kedua merupakan pelataran
rumput. Dinding kedua teras berundak tersebut diperkuat dengan turap dari
susunan batu kali. Di sisi barat terdapat tangga batu yang dilengkapi dengan
pipi tangga. Di tengah pelataran teras kedua terdapat semacam sumur berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 4X4 m2 yang digunakan sebagai tempat pembakaran
mayat.
Di sudut
tenggara candi pembakaran terdapat salah satu sumur tua yang konon merupakan
sumber air suci.
Paseban
Paseban merupakan kata dalam bahasa Jawa yang
berarti tempat untuk menghadap raja (seba = menghadap). Bangunan ini terletak
sekitar 45 m ke arah selatan dari gapur. Paseban merupakan teras yang
dibangun dari batu andesit dengan tinggi 1,5 m, lebar 7 m dan panjang 38 m,
membujur arah utara-selatan. Tangga naik ke lantai paseban terletak di sisi
barat. Di berbagai tempat di permukaan lantai ditemukan 20 umpak fondasi
tempat menancapkan tiang bangunan) dan 4 alur yang diperkirakan bekas tempat
berdirinya dinding pembatas.
Pendapa
Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m. Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura paduraksa (gapura beratap).
Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m. Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura paduraksa (gapura beratap).
Di beberapa tempat di bagian luar dinding terdapat
saluran pembuangan air, yang disebut jaladwara. Jaladwara ditemukan juga di
candi Banyuniba dan Barabudhur.
Dalam pagar batu tersebut terdapat dua teras yang
dibangun menggunakan batu susunan andesit. Sepanjang tepi dinding dan di
antara dua teras terdapat gang berlantai batu. Teras pertama disebut pendapa,
berbentuk semacam panggung persegi setinggi 1,46 m, dengan ukuran luas 20 m2.
Dalam bahasa Jawa, pendapa berarti ruang tamu atau hamparan lantai beratap
yang umumnya terletak di bagian depan rumah. Tangga naik ke pendapa berada di
sisi timurlaut dan baratlaut.
Diatas
permukaan lantai pendapa terdapat 24 buah umpak batu.Teras kedua, yang
disebut 'pringgitan' terletak di selatan pendapa. Pringgitan artinya ruang
dalam atau ruang duduk. Pringgitan ini juga berdenah segi empat dengan luas
20 X 6 m. Di permukaan lantai pringgitan ditemukan 12 umpak batu.
Di luar dinding pendapa, arah tenggara, terdapat
sebuah teras batu yang masih utuh. Di ujungnya terdapat 3 buah candi kecil
yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Bangunan yang di tengah, yang
berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedua candi pengapitnya, adalah
tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Kedua candi yang mengapitnya, masing-masing,
merupakan tempat memuja Syiwa dan Brahma.
Keputren
Keputren yang artinya tempat tinggal para putri letaknya di timur pendapa. Lingkungan keputren seluas 31 X 8 m dibatasi oleh pagar batu setinggi 2 m, namun sebagian besar pagar batu tersebut telah runtuh. Pintu masuk, berupa gapura paduraksa dengan hiasan Kalamakara di atas ambangnya, terletak di sisi timur dan barat.
Keputren yang artinya tempat tinggal para putri letaknya di timur pendapa. Lingkungan keputren seluas 31 X 8 m dibatasi oleh pagar batu setinggi 2 m, namun sebagian besar pagar batu tersebut telah runtuh. Pintu masuk, berupa gapura paduraksa dengan hiasan Kalamakara di atas ambangnya, terletak di sisi timur dan barat.
Lingkungan keputren terbagi dua oleh tembok batu
yang memiliki sebuah pintu penghubung. Dalam lingkungan pertama terdapat 3
buah kolam berbentuk persegi. Yang sebuah berbentuk bujur sangkar, berukuran
lebih besar dibandingkan kedua kolam lainnya. Dua kolam yang lebih panjang
bebentuk persegi panjang membujur arah utara-selatan.
Dalam
lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas
berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.
Gua
Di lereng bukit tempat kawasan Ratu Baka berada,
terdapat dua buah gua, yang disebut Gua Lanang dan Gua Wadon (gua lelaki dan
gua perempuan). Gua Lanang yang terletak di timur laut 'paseban' merupakan
lorong persegi dengan tinggi 1,3 m, lebar 3,7 m dan dalam 2,9 m. Di dalam
gua, masing-masing di sisi kiri, kanan dan belakang, terdapat relung seperti
bilik. Pada dinding gua terdapat pahatan berbentuk semacam pigura persegi
panjang. Mackenzie menemukan patung di depan Gua Lanang ini.
Gua Wadon yang terletak sekitar 20 m ke arah
tenggara dari 'paseban' lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan Gua Lanang,
yaitu tinggi 1,3 m, lebar 3 dan dalam 1, 7 m. Di bagian belakang gua terdapat
relung seperti bilik.
Sumber : http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_sari
No comments:
Post a Comment