Wednesday, November 7, 2018

Kumpulan puisi-puisi Muchid Albintani


Perhiasan Wajah Imitasi 

Perhiasan yang ku punya tak lagi
berharga, semenjak gemerlap intan 
berpaling wajah dari berlian, 
emas, mutiara menjadi
imitasi wajah asli 
penghuni negeri ini 

Sebab tak ada lagi kekayaan
milik kita yang tersisa 
terhisap rentenir kebijakan 
dari negeri seberang
yang menyerlah menyajikan
gemintang membuat liur 
petinggi kami menyembur 
bagai tekak kering
ingin menggadai negeri ini

Perhiasan mereka mengharu merah
kerut kening para makelar perunding 
ingin secepatnya menukar emas hitam
pasir, bauksit, timah, kwarsa dan
segala yang kami punya dengan
secarik kertas berlabel investasi

Tak ada ada lagi perhiasan negeri kami
para perunding telah menukarnya
menjadi bunga deposito di bank-bank
antar negara semua atas nama mereka

Begitulah sekelumit kerunyaman
tentang kekayaan negeri kami
yang sedikit demi sedikit dicuri
para bandit perhiasan 
yang berwajah imitasi. 



Para Pemuja Api

Gunung-gunung pun menyala
menyambut kemenangan
para pemuja api

Mereka datang dengan lupa
mengeruk kemaruk semua
hasilnya

Para pemuja api
tak santun lagi
di negeri kami
kebijakan  mereka beli
melalui pemimpin kami
pencinta materi seperti karun

Para memuja api
lupa diri tak mengerti
gunung tak pernah mati
akan hidup menggemuruh 
di kebanyakan negeri

Para pemuja api
tak pernah peduli
terus saja merayu
batupun diberi sesaji
karena tak mempan disogok lagi

Begitulah para pemuja api
tak pernah mengerti
tidak semua petinggi dapat dibeli
karena doa-doa istiqomah
dari mereka yang tak goyah
iming-iming kuasa dan dollar 

Para pemuja api 
mengapa tak kenal diri
umurmu tak lama lagi
sebelum terbuka topengmu
simpanlah dollar mu 
yang tak akan laku 
di tanah leluhur kami. 



Menjual Logika

Ada yang ambigu
seperti tak makan aqal
hanya karena ambisi materi
kami menjual logika
dari negeri miskin yang 
pengelolanya mewah raya

Ada yang paradok 
seperti tak gadai aqal
dari negeri lautan susu
kayu yang menjadi umbi
bumi pun tak berpasak

Ada yang kontradiksi 
umbi tak lagi penyebab kenyang
bebatu penenang perut
kelaparan berdendang ria

Apa yang terjadi
terjadi di luar segala
yang tak dihendaki
tatkala cacing menelan naga

Apa yang terjadi
tak ada lagi sejak ayam
menjadi hansip banyak 
penyelingkuh yang tertangkap

Apa yang terjadi
pikir telah mengjungkir
mulut menghembus angin
pantat pun bercakap-cakap

Apa yang terjadi
pikir tak ada lagi
tersisa satu logika
itupun sudah terjual. 


Kisah Pemburu Rente


Secercah kisah tiada harap
dikala tak lagi beda 
antara penguasa 
pemburu 
dan rente hasil sisa gadai negeri
dalam remuk mimik wajah
eksploitasi harga diri
menukar kami dengan 
semua fee tanah air beta
pusaka tak abadi 
nan tak jaya

Apa yang diharap 
pada kisah para pemburu
dari sahabat rentenir 
nageri pembuat boneka
dengan hasil rekayasa
yang memunculkan 
kisah-kisah senjakala
di ruang kami bermain
bersenda gurau telah binasa

Tak tentu lagi
ketika kami saksikan 
para penguasa dan pemburu
bertikai tentang kalkulasi
berapa yang harus dibagi

Tak tahu lagi
rupanya mereka saling melapor
ketika rente berubah tampil 
bersorban tanpa jubah
yang tak mau dibagi-bagi

Tak berkuasa untuk
berburu lagi
membuat mereka gagu 
ketika rente memanggil
izrail menyebut namanya
satu persatu. 


Dongeng Negeri Kaya

Hidup di negeri kaya
menyimpan seribu tiga cerita    
mulai jalan yang tanpa kereta
sampai misteri jenglot yang dapat
melipatgandakan mas dollar rupiah

Hidup di negeri kaya
gemahripah lohjenawi 
penyebab tekak tak dahaga
karena kelapa hilang santannya

Hidup di negeri kaya
tak takut lapar 
sembako cukup
menjadi penglipur lara
pengganti harga 
dari diri yang terlupa

Hidup di negeri kaya 
teramat bebas
timur barat 
tak lagi arah,
cukup turuti
perintah ketua

Hidup di negeri kaya
hati selalu gembira
makan apa adanya
hanya tergantung,
kalau si miskin mau makan apa
yang kaya pilih yang mana
aparat kasusnya apa
penjahat serahkan semua
penguasa mau makan siapa

Hidup di negeri kaya
tak perlu apa-apa
cukup tunjuk saja
sambil melempar ampau
dari kereta dan berkata
pungutlah.



Tembakau Minyak Wangi

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
tetap saja tak semerbak harum mewangi
hembus hidung mengepul asap
tetap menyesak  paru
mencemari diri keluarga juga lingkungan

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
masih saja membeo seperti 
para kapitalis pengusaha asap
yang dinikmati sampai mati
tak juga sadar diri

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulamanya terbelah
yang menghisap katanya makhruh
sedangkan yang tidak pastilah haram

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulama berbeda
apakah ini ciri  khas ulama nusantara
yang mengharamkan dilabel radikal
yang makhruhkan sebutannya moderat

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
atas berkah rahmat Allah yang maha kuasa
telah mengantarkan ke depan pintu gerbang 
kebebasan dari penjajahan asing beserta pendukungnya
mengapa masih saja terbelah
walaupun dalam kesesatan yang nyata

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa tak jujur menjadi munafiq
memilih radikal tahan sogok
atau moderat tak tahan sogok

Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
jujurlah dan tahan sogoklah
wahai pewaris nabi
katakanlah memakan babi itu haram
maka tembakau akan mewangi
seharum minyak. 


Gunung pun Bernyanyi

Gunung-gunung tak lagi bersedih
apalagi menangis, karena
air mata telah tiada

Gunung-gunung akan bernyanyi
terus menerus menyambut
prestasi penguasa negeri
dengan lagu 
dua satu dua
tiga satu tiga
empat satu empat
bergerak perlahan membisik bumi
menggelar angin
tak lagi menutupi
melainkan membuka 
satu persatu
kedok topeng bopeng
setiap keculasan

Gunung-gunung akan berkelakar
sambil meniup seruling sangkakala
bersama Israfil mengkalkulasi
setiap manipulasi kata
yang selalu mengalir
dari cerita citra ngeles
tentang negeri yang 
kehilangan wibawa

Gunung bersama awan mendung
birunya langit yang bercengkerama 
dengan kumolonumbus hiasi penyambutan
okestera kilat guntur petir yang
menyanyikan simponi rusuh negeri
dalam paduan suara kebohongan
yang tak lama datanglah tanda-tanda
dengan ucapan salam dari kerakatau
yang disahut galunggung 
semeru yang diiyakan merapi tanda setuju

Gunung-gunung pun bersujud sambil
menunggu instruksi kapan kami mulai
bernyanyi memberi sinyal pada penguasa
zalim dari negeri para wali agar mereka
tak jumawa lagi.

Muchid Albintani adalah ASN dan pendidik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau. 

No comments:

Post a Comment

Kumpulan Sajak-sajak Willy Ana