Perhiasan
Wajah Imitasi
Perhiasan yang ku punya tak lagi
berharga, semenjak gemerlap intan
berpaling wajah dari berlian,
emas, mutiara menjadi
imitasi wajah asli
penghuni negeri ini
Sebab tak ada lagi kekayaan
milik kita yang tersisa
terhisap rentenir kebijakan
dari negeri seberang
yang menyerlah menyajikan
gemintang membuat liur
petinggi kami menyembur
bagai tekak kering
ingin menggadai negeri ini
Perhiasan mereka mengharu merah
kerut kening para makelar perunding
ingin secepatnya menukar emas hitam
pasir, bauksit, timah, kwarsa dan
segala yang kami punya dengan
secarik kertas berlabel investasi
Tak ada ada lagi perhiasan negeri kami
para perunding telah menukarnya
menjadi bunga deposito di bank-bank
antar negara semua atas nama mereka
Begitulah sekelumit kerunyaman
tentang kekayaan negeri kami
yang sedikit demi sedikit dicuri
para bandit perhiasan
yang berwajah imitasi.
Para Pemuja Api
Gunung-gunung pun menyala
menyambut kemenangan
para pemuja api
Mereka datang dengan lupa
mengeruk kemaruk semua
hasilnya
Para pemuja api
tak santun lagi
di negeri kami
kebijakan mereka beli
melalui pemimpin kami
pencinta materi seperti karun
Para memuja api
lupa diri tak mengerti
gunung tak pernah mati
akan hidup menggemuruh
di kebanyakan negeri
Para pemuja api
tak pernah peduli
terus saja merayu
batupun diberi sesaji
karena tak mempan disogok lagi
Begitulah para pemuja api
tak pernah mengerti
tidak semua petinggi dapat dibeli
karena doa-doa istiqomah
dari mereka yang tak goyah
iming-iming kuasa dan dollar
Para pemuja api
mengapa tak kenal diri
umurmu tak lama lagi
sebelum terbuka topengmu
simpanlah dollar mu
yang tak akan laku
di tanah leluhur kami.
Menjual Logika
Ada yang ambigu
seperti tak makan aqal
hanya karena ambisi materi
kami menjual logika
dari negeri miskin yang
pengelolanya mewah raya
Ada yang paradok
seperti tak gadai aqal
dari negeri lautan susu
kayu yang menjadi umbi
bumi pun tak berpasak
Ada yang kontradiksi
umbi tak lagi penyebab kenyang
bebatu penenang perut
kelaparan berdendang ria
Apa yang terjadi
terjadi di luar segala
yang tak dihendaki
tatkala cacing menelan naga
Apa yang terjadi
tak ada lagi sejak ayam
menjadi hansip banyak
penyelingkuh yang tertangkap
Apa yang terjadi
pikir telah mengjungkir
mulut menghembus angin
pantat pun bercakap-cakap
Apa yang terjadi
pikir tak ada lagi
tersisa satu logika
itupun sudah terjual.
Kisah Pemburu Rente
Secercah kisah tiada harap
dikala tak lagi beda
antara penguasa
pemburu
dan rente hasil sisa gadai negeri
dalam remuk mimik wajah
eksploitasi harga diri
menukar kami dengan
semua fee tanah air beta
pusaka tak abadi
nan tak jaya
Apa yang diharap
pada kisah para pemburu
dari sahabat rentenir
nageri pembuat boneka
dengan hasil rekayasa
yang memunculkan
kisah-kisah senjakala
di ruang kami bermain
bersenda gurau telah binasa
Tak tentu lagi
ketika kami saksikan
para penguasa dan pemburu
bertikai tentang kalkulasi
berapa yang harus dibagi
Tak tahu lagi
rupanya mereka saling melapor
ketika rente berubah tampil
bersorban tanpa jubah
yang tak mau dibagi-bagi
Tak berkuasa untuk
berburu lagi
membuat mereka gagu
ketika rente memanggil
izrail menyebut namanya
satu persatu.
Dongeng Negeri Kaya
Hidup di negeri kaya
menyimpan seribu tiga cerita
mulai jalan yang tanpa kereta
sampai misteri jenglot yang dapat
melipatgandakan mas dollar rupiah
Hidup di negeri kaya
gemahripah lohjenawi
penyebab tekak tak dahaga
karena kelapa hilang santannya
Hidup di negeri kaya
tak takut lapar
sembako cukup
menjadi penglipur lara
pengganti harga
dari diri yang terlupa
Hidup di negeri kaya
teramat bebas
timur barat
tak lagi arah,
cukup turuti
perintah ketua
Hidup di negeri kaya
hati selalu gembira
makan apa adanya
hanya tergantung,
kalau si miskin mau makan apa
yang kaya pilih yang mana
aparat kasusnya apa
penjahat serahkan semua
penguasa mau makan siapa
Hidup di negeri kaya
tak perlu apa-apa
cukup tunjuk saja
sambil melempar ampau
dari kereta dan berkata
pungutlah.
Tembakau Minyak Wangi
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
tetap saja tak semerbak harum mewangi
hembus hidung mengepul asap
tetap menyesak paru
mencemari diri keluarga juga lingkungan
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
masih saja membeo seperti
para kapitalis pengusaha asap
yang dinikmati sampai mati
tak juga sadar diri
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulamanya terbelah
yang menghisap katanya makhruh
sedangkan yang tidak pastilah haram
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulama berbeda
apakah ini ciri khas ulama nusantara
yang mengharamkan dilabel radikal
yang makhruhkan sebutannya moderat
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
atas berkah rahmat Allah yang maha kuasa
telah mengantarkan ke depan pintu gerbang
kebebasan dari penjajahan asing beserta pendukungnya
mengapa masih saja terbelah
walaupun dalam kesesatan yang nyata
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa tak jujur menjadi munafiq
memilih radikal tahan sogok
atau moderat tak tahan sogok
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
jujurlah dan tahan sogoklah
wahai pewaris nabi
katakanlah memakan babi itu haram
maka tembakau akan mewangi
seharum minyak.
Gunung pun Bernyanyi
Gunung-gunung tak lagi bersedih
apalagi menangis, karena
air mata telah tiada
Gunung-gunung akan bernyanyi
terus menerus menyambut
prestasi penguasa negeri
dengan lagu
dua satu dua
tiga satu tiga
empat satu empat
bergerak perlahan membisik bumi
menggelar angin
tak lagi menutupi
melainkan membuka
satu persatu
kedok topeng bopeng
setiap keculasan
Gunung-gunung akan berkelakar
sambil meniup seruling sangkakala
bersama Israfil mengkalkulasi
setiap manipulasi kata
yang selalu mengalir
dari cerita citra ngeles
tentang negeri yang
kehilangan wibawa
Gunung bersama awan mendung
birunya langit yang bercengkerama
dengan kumolonumbus hiasi penyambutan
okestera kilat guntur petir yang
menyanyikan simponi rusuh negeri
dalam paduan suara kebohongan
yang tak lama datanglah tanda-tanda
dengan ucapan salam dari kerakatau
yang disahut galunggung
semeru yang diiyakan merapi tanda setuju
Gunung-gunung pun bersujud sambil
menunggu instruksi kapan kami mulai
bernyanyi memberi sinyal pada penguasa
zalim dari negeri para wali agar mereka
tak jumawa lagi.
Muchid Albintani adalah ASN dan pendidik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau.
Perhiasan yang ku punya tak lagi
berharga, semenjak gemerlap intan
berpaling wajah dari berlian,
emas, mutiara menjadi
imitasi wajah asli
penghuni negeri ini
Sebab tak ada lagi kekayaan
milik kita yang tersisa
terhisap rentenir kebijakan
dari negeri seberang
yang menyerlah menyajikan
gemintang membuat liur
petinggi kami menyembur
bagai tekak kering
ingin menggadai negeri ini
Perhiasan mereka mengharu merah
kerut kening para makelar perunding
ingin secepatnya menukar emas hitam
pasir, bauksit, timah, kwarsa dan
segala yang kami punya dengan
secarik kertas berlabel investasi
Tak ada ada lagi perhiasan negeri kami
para perunding telah menukarnya
menjadi bunga deposito di bank-bank
antar negara semua atas nama mereka
Begitulah sekelumit kerunyaman
tentang kekayaan negeri kami
yang sedikit demi sedikit dicuri
para bandit perhiasan
yang berwajah imitasi.
Para Pemuja Api
Gunung-gunung pun menyala
menyambut kemenangan
para pemuja api
Mereka datang dengan lupa
mengeruk kemaruk semua
hasilnya
Para pemuja api
tak santun lagi
di negeri kami
kebijakan mereka beli
melalui pemimpin kami
pencinta materi seperti karun
Para memuja api
lupa diri tak mengerti
gunung tak pernah mati
akan hidup menggemuruh
di kebanyakan negeri
Para pemuja api
tak pernah peduli
terus saja merayu
batupun diberi sesaji
karena tak mempan disogok lagi
Begitulah para pemuja api
tak pernah mengerti
tidak semua petinggi dapat dibeli
karena doa-doa istiqomah
dari mereka yang tak goyah
iming-iming kuasa dan dollar
Para pemuja api
mengapa tak kenal diri
umurmu tak lama lagi
sebelum terbuka topengmu
simpanlah dollar mu
yang tak akan laku
di tanah leluhur kami.
Menjual Logika
Ada yang ambigu
seperti tak makan aqal
hanya karena ambisi materi
kami menjual logika
dari negeri miskin yang
pengelolanya mewah raya
Ada yang paradok
seperti tak gadai aqal
dari negeri lautan susu
kayu yang menjadi umbi
bumi pun tak berpasak
Ada yang kontradiksi
umbi tak lagi penyebab kenyang
bebatu penenang perut
kelaparan berdendang ria
Apa yang terjadi
terjadi di luar segala
yang tak dihendaki
tatkala cacing menelan naga
Apa yang terjadi
tak ada lagi sejak ayam
menjadi hansip banyak
penyelingkuh yang tertangkap
Apa yang terjadi
pikir telah mengjungkir
mulut menghembus angin
pantat pun bercakap-cakap
Apa yang terjadi
pikir tak ada lagi
tersisa satu logika
itupun sudah terjual.
Kisah Pemburu Rente
Secercah kisah tiada harap
dikala tak lagi beda
antara penguasa
pemburu
dan rente hasil sisa gadai negeri
dalam remuk mimik wajah
eksploitasi harga diri
menukar kami dengan
semua fee tanah air beta
pusaka tak abadi
nan tak jaya
Apa yang diharap
pada kisah para pemburu
dari sahabat rentenir
nageri pembuat boneka
dengan hasil rekayasa
yang memunculkan
kisah-kisah senjakala
di ruang kami bermain
bersenda gurau telah binasa
Tak tentu lagi
ketika kami saksikan
para penguasa dan pemburu
bertikai tentang kalkulasi
berapa yang harus dibagi
Tak tahu lagi
rupanya mereka saling melapor
ketika rente berubah tampil
bersorban tanpa jubah
yang tak mau dibagi-bagi
Tak berkuasa untuk
berburu lagi
membuat mereka gagu
ketika rente memanggil
izrail menyebut namanya
satu persatu.
Dongeng Negeri Kaya
Hidup di negeri kaya
menyimpan seribu tiga cerita
mulai jalan yang tanpa kereta
sampai misteri jenglot yang dapat
melipatgandakan mas dollar rupiah
Hidup di negeri kaya
gemahripah lohjenawi
penyebab tekak tak dahaga
karena kelapa hilang santannya
Hidup di negeri kaya
tak takut lapar
sembako cukup
menjadi penglipur lara
pengganti harga
dari diri yang terlupa
Hidup di negeri kaya
teramat bebas
timur barat
tak lagi arah,
cukup turuti
perintah ketua
Hidup di negeri kaya
hati selalu gembira
makan apa adanya
hanya tergantung,
kalau si miskin mau makan apa
yang kaya pilih yang mana
aparat kasusnya apa
penjahat serahkan semua
penguasa mau makan siapa
Hidup di negeri kaya
tak perlu apa-apa
cukup tunjuk saja
sambil melempar ampau
dari kereta dan berkata
pungutlah.
Tembakau Minyak Wangi
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
tetap saja tak semerbak harum mewangi
hembus hidung mengepul asap
tetap menyesak paru
mencemari diri keluarga juga lingkungan
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
masih saja membeo seperti
para kapitalis pengusaha asap
yang dinikmati sampai mati
tak juga sadar diri
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulamanya terbelah
yang menghisap katanya makhruh
sedangkan yang tidak pastilah haram
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa ulama berbeda
apakah ini ciri khas ulama nusantara
yang mengharamkan dilabel radikal
yang makhruhkan sebutannya moderat
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
atas berkah rahmat Allah yang maha kuasa
telah mengantarkan ke depan pintu gerbang
kebebasan dari penjajahan asing beserta pendukungnya
mengapa masih saja terbelah
walaupun dalam kesesatan yang nyata
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
mengapa tak jujur menjadi munafiq
memilih radikal tahan sogok
atau moderat tak tahan sogok
Sudah tujuh puluh dua tahun merdeka
jujurlah dan tahan sogoklah
wahai pewaris nabi
katakanlah memakan babi itu haram
maka tembakau akan mewangi
seharum minyak.
Gunung pun Bernyanyi
Gunung-gunung tak lagi bersedih
apalagi menangis, karena
air mata telah tiada
Gunung-gunung akan bernyanyi
terus menerus menyambut
prestasi penguasa negeri
dengan lagu
dua satu dua
tiga satu tiga
empat satu empat
bergerak perlahan membisik bumi
menggelar angin
tak lagi menutupi
melainkan membuka
satu persatu
kedok topeng bopeng
setiap keculasan
Gunung-gunung akan berkelakar
sambil meniup seruling sangkakala
bersama Israfil mengkalkulasi
setiap manipulasi kata
yang selalu mengalir
dari cerita citra ngeles
tentang negeri yang
kehilangan wibawa
Gunung bersama awan mendung
birunya langit yang bercengkerama
dengan kumolonumbus hiasi penyambutan
okestera kilat guntur petir yang
menyanyikan simponi rusuh negeri
dalam paduan suara kebohongan
yang tak lama datanglah tanda-tanda
dengan ucapan salam dari kerakatau
yang disahut galunggung
semeru yang diiyakan merapi tanda setuju
Gunung-gunung pun bersujud sambil
menunggu instruksi kapan kami mulai
bernyanyi memberi sinyal pada penguasa
zalim dari negeri para wali agar mereka
tak jumawa lagi.
Muchid Albintani adalah ASN dan pendidik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau.
No comments:
Post a Comment