Kau
Aku Luka
dua hujan menyapa;
tetes yang lewat di sebalik jendela buram
dan
rinai rindu dir rebahan jiwa
serpihan angin di sayap musim
kenangan bergulir menyusun mimpi
duhai nahkoda rasa
sebelum aksara melontar namamu
merajut duka suka enggan menyapa
padahal kita masih ingin mencumbui sejuknya rembulan
kau Aku Luka
terpacak dalam laluan
segala meretas biru
kepada siapa kita bertamu?
Pekanbaru, 2017
Sebak Rindu
hujan buramkan kaca jendela
genangan sebak menggali mata hati
tanah kubur masih saja basah
di sebalik gorden
rindu berdesahan
belaian angin
hamparkan kenangan
Pekanbaru, 2017
Diam Adalah Pilihan
di penghujung waktu
bumbung langit telah retak
raja berpesta pora
hulubalang melepas lagak
tirai malam melontar cahaya purnama ke dasar jiwa
tak jua di rasa
pengharapan bertengger di rumah sunyi
janji diramu dusta
tikam menikam di rimba metropolitan
kemana sejarah kejayaan yang kita talkinkan di setiap perjalanan rindu?
kita terdampar di pulau asing
di antara kita begitu asing
(potret kelam tergantung sebalik tirai; menganyam amuk tiada terungkap; diam adalah pilihan)
Pelalawan, 2017
Orang-Orang Cipta Waktu dari Mata
Pada kalimat-kalimat yang direnggut masa lewat
orang-orang tak tunduk lagi pada aturan detik,
mereka menciptakan waktu dari mata
kidung malam kau nyanyikan saat purnama merajuk
sayap patah kau tersuruk membisu
nadanada sumbang menjadi angin
menggiring airmata
jadi awan lalu hujan lalu laut
bermuara pada pilu
orang-orang melangkah pasti
kau-aku; meraba gagap dalam mimpi
orang-orang cipta waktu dari mata
mata hati dimana
Pekanbaru, 2017
Pulau Padang Sudah Terkepung
pulau padang terkepung!
abrasi tak lagi kompromi
akasia datang mendesak, gambutgambut tersudut takut, kanalkanal nakal menghisap segala yang ada, tiada lagi karbon ataupun air berada didalamnya,
setiap jengkal tanah menyusut pada hitungan detik, pulau tak lagi mampu tahan amukan Poseidon sang dewa laut. kehancuran tergambar nyata
pengusaha menghitung laba, penguasa mengutip harta, masyarakat menderita.
(anakanak bertelanjang kaki menjinjing mimpi, di pelabuhan sunyi harapan tersadai badai melambailambai)
kenapa kau masih jua membatu, mengukir kepasrahan di perjalanan waktu, kemana keberanian itu?
bukankah kebenaran yang utama bagimu? Ataukah kau sudah hangus terbakar seperti ikaros hangus tak berdaya saat sayapnya dilahap matahari
sebelum semua tenggelam
jangan biarkan kelam membenam
pulau padang sudah terkepung!
kau masih saja termenung!!!!
Pulaupadang 2017
Punah
dan keindahan itu sirna;
pasir digali lidahlidah menjilat emas penuh birahi,
mesin dompeng menari di atas perut bumi
arteri dan vena dipenuhi merkuri, darah berubah warna, tidak lagi merah namun telah bernanah, membusuk.
sungai, pohon, bukit, lembah, hewan pasrah saat kematian menjemput, tidak ada lagi yg tersisa, segala telah menjadi keruh, kejernihan air pelepas dahaga sirna,
Jangankan mendekap matahari, bahkan bulan enggan menyapa.
Harta,tahta,kuasa meraja, diri terpesona kepalsuan nyata
Badai itu kita yang menciptakan, untuk apa lagi tangisan sebab hanya kebisuan yang bisa kita lakukan.
mereka berpesta pora dan kita tersadai dalam kehampaan.
“keuntungan menambang emas hari ini untuk anak cucu kami nanti, kami tidak ingin lagi hidup dalam kemiskinan†dulu itu yang diyakini
lalu jiwa dan raga pun dipersembahkan kepada toke penghisap darah
dan kini kita terbakar dalam kepedihan tak berkesudahan.
Kuansing,2017
Pulau Itu Tenggelam
saat badai yang tak kunjung henti mendekap kita tetap tak mau berpisah dengan mimpi, nyanyian rimba membuat kita terlena tak perduli suaraNYA datang membawa tanda-tanda dari hulu. Kita tak jua arif memaknai alam. malam kelam pun terbentang.
keinginan begitu kuat menyapa pagi di pulau kapuk, beranikan diri menghadang badai, kita terlupa, kekuatanNya takkan bisa dilawan walau penuh daya upaya dicapai.
kebisuan mencekam saat puisi tumpah dan hanyut dibawa arus, dua cabang jalan harus kita pilih, memungut puisi dn bersetubuh dengan sungai subayang, atau mengalah dan tersadai pada kerinduan akan harapan yang tak tergapai.
pulau itu tenggelam, biarkanlah, tersebab puisi jiwa kita menjaganya penuh cinta.
sungguh, kematian itu begitu terasa dekat, tapi kita belum siap. Masih jua diberi kesempatan mengecup hari-hari.
Kamparkiri, 2017
DM Ningsih, lahir di Pekanbaru 27 Septermber1979. Bersama suami dan anaknya ia mastuatin di Rumbai, Pekanbaru. Karya-karyanya terekam dalam berbagai media massa dan beberapa antologi puisi. Selain menulis puisi, dia juga menulis esai dan cerpen.
dua hujan menyapa;
tetes yang lewat di sebalik jendela buram
dan
rinai rindu dir rebahan jiwa
serpihan angin di sayap musim
kenangan bergulir menyusun mimpi
duhai nahkoda rasa
sebelum aksara melontar namamu
merajut duka suka enggan menyapa
padahal kita masih ingin mencumbui sejuknya rembulan
kau Aku Luka
terpacak dalam laluan
segala meretas biru
kepada siapa kita bertamu?
Pekanbaru, 2017
Sebak Rindu
hujan buramkan kaca jendela
genangan sebak menggali mata hati
tanah kubur masih saja basah
di sebalik gorden
rindu berdesahan
belaian angin
hamparkan kenangan
Pekanbaru, 2017
Diam Adalah Pilihan
di penghujung waktu
bumbung langit telah retak
raja berpesta pora
hulubalang melepas lagak
tirai malam melontar cahaya purnama ke dasar jiwa
tak jua di rasa
pengharapan bertengger di rumah sunyi
janji diramu dusta
tikam menikam di rimba metropolitan
kemana sejarah kejayaan yang kita talkinkan di setiap perjalanan rindu?
kita terdampar di pulau asing
di antara kita begitu asing
(potret kelam tergantung sebalik tirai; menganyam amuk tiada terungkap; diam adalah pilihan)
Pelalawan, 2017
Orang-Orang Cipta Waktu dari Mata
Pada kalimat-kalimat yang direnggut masa lewat
orang-orang tak tunduk lagi pada aturan detik,
mereka menciptakan waktu dari mata
kidung malam kau nyanyikan saat purnama merajuk
sayap patah kau tersuruk membisu
nadanada sumbang menjadi angin
menggiring airmata
jadi awan lalu hujan lalu laut
bermuara pada pilu
orang-orang melangkah pasti
kau-aku; meraba gagap dalam mimpi
orang-orang cipta waktu dari mata
mata hati dimana
Pekanbaru, 2017
Pulau Padang Sudah Terkepung
pulau padang terkepung!
abrasi tak lagi kompromi
akasia datang mendesak, gambutgambut tersudut takut, kanalkanal nakal menghisap segala yang ada, tiada lagi karbon ataupun air berada didalamnya,
setiap jengkal tanah menyusut pada hitungan detik, pulau tak lagi mampu tahan amukan Poseidon sang dewa laut. kehancuran tergambar nyata
pengusaha menghitung laba, penguasa mengutip harta, masyarakat menderita.
(anakanak bertelanjang kaki menjinjing mimpi, di pelabuhan sunyi harapan tersadai badai melambailambai)
kenapa kau masih jua membatu, mengukir kepasrahan di perjalanan waktu, kemana keberanian itu?
bukankah kebenaran yang utama bagimu? Ataukah kau sudah hangus terbakar seperti ikaros hangus tak berdaya saat sayapnya dilahap matahari
sebelum semua tenggelam
jangan biarkan kelam membenam
pulau padang sudah terkepung!
kau masih saja termenung!!!!
Pulaupadang 2017
Punah
dan keindahan itu sirna;
pasir digali lidahlidah menjilat emas penuh birahi,
mesin dompeng menari di atas perut bumi
arteri dan vena dipenuhi merkuri, darah berubah warna, tidak lagi merah namun telah bernanah, membusuk.
sungai, pohon, bukit, lembah, hewan pasrah saat kematian menjemput, tidak ada lagi yg tersisa, segala telah menjadi keruh, kejernihan air pelepas dahaga sirna,
Jangankan mendekap matahari, bahkan bulan enggan menyapa.
Harta,tahta,kuasa meraja, diri terpesona kepalsuan nyata
Badai itu kita yang menciptakan, untuk apa lagi tangisan sebab hanya kebisuan yang bisa kita lakukan.
mereka berpesta pora dan kita tersadai dalam kehampaan.
“keuntungan menambang emas hari ini untuk anak cucu kami nanti, kami tidak ingin lagi hidup dalam kemiskinan†dulu itu yang diyakini
lalu jiwa dan raga pun dipersembahkan kepada toke penghisap darah
dan kini kita terbakar dalam kepedihan tak berkesudahan.
Kuansing,2017
Pulau Itu Tenggelam
saat badai yang tak kunjung henti mendekap kita tetap tak mau berpisah dengan mimpi, nyanyian rimba membuat kita terlena tak perduli suaraNYA datang membawa tanda-tanda dari hulu. Kita tak jua arif memaknai alam. malam kelam pun terbentang.
keinginan begitu kuat menyapa pagi di pulau kapuk, beranikan diri menghadang badai, kita terlupa, kekuatanNya takkan bisa dilawan walau penuh daya upaya dicapai.
kebisuan mencekam saat puisi tumpah dan hanyut dibawa arus, dua cabang jalan harus kita pilih, memungut puisi dn bersetubuh dengan sungai subayang, atau mengalah dan tersadai pada kerinduan akan harapan yang tak tergapai.
pulau itu tenggelam, biarkanlah, tersebab puisi jiwa kita menjaganya penuh cinta.
sungguh, kematian itu begitu terasa dekat, tapi kita belum siap. Masih jua diberi kesempatan mengecup hari-hari.
Kamparkiri, 2017
DM Ningsih, lahir di Pekanbaru 27 Septermber1979. Bersama suami dan anaknya ia mastuatin di Rumbai, Pekanbaru. Karya-karyanya terekam dalam berbagai media massa dan beberapa antologi puisi. Selain menulis puisi, dia juga menulis esai dan cerpen.
No comments:
Post a Comment