Pikiran Rakyat
Sabtu, 17 Mei 2008
YANG PALING PENTING
Cerpen: Lan Fang
Di rumah. Hujan. Di teras. Duduk. Air jatuh
satu-satu dari bibir genting. Menciprati lantai. Menggenangi rumput. Susul
menyusul. Menjadi bunyi yang paling sepi.
Kamu suka musik klasik atau musik jazz?"
tanyamu, seakan-akan itu adalah pertanyaan penting. Padahal, itu tidak penting.
Karena aku punya pertanyaan lain yang lebih penting untukmu. "Kamu suka
hujan waktu pagi hari atau sore hari?" Ini pertanyaan penting untukku.
Tetapi aku tahu bahwa itu pertanyaan yang tidak penting menurutmu.
Karena kira-kira aku sudah tahu apa jawabanmu.
"Hujan bikin becek, banjir, dan macet."
Tetapi apakah kau tahu kalau serakan hujan
tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan? Aku ragu, kau tahu itu. Aku juga
tidak merasa yakin kalau kau pernah mencium wangi cemara yang mengambang di
udara sehabis dibasahi hujan. Jadi akulah yang menambang semerbak itu. Harum
sunyi paling abadi. Ada di hati manusia yang sendiri.
Tidak ada kamu. Tidak tahu kamu sedang apa.
Mungkin benar bahwa kamu sedang berlatih
memainkan musik klasik atau musik jazz. Tetapi aku tidak tahu bagaimana
pastinya. Kemudian kamu berkata padaku "kamu memang tidak tahu kalau satu
oktaf sebetulnya ada dua belas nada. Terdiri dari tujuh bilah putih.
Dan lima bilah hitam. Ini penting! Bukan cuma delapan nada yang
seperti kamu katakan. Tidak cuma do re mi fa sol la si do. Kamu tidak
tahu."
Ya, aku memang tidak tahu. Seperti aku tidak
tahu kenapa pikiranku gentayangan mencarimu. Padahal, aku tahu ada suara langit
yang resah. Ada pesawat terbang menerjang hujan. Juga ada burung
kecil yang nekat menerabas hujan. Aku tahu pesawat terbang dan burung kecil itu
sedang saling bersaing. Pesawat terbang harus mendarat di landasannya. Burung
kecil harus mencapai gerombolan cemara. Aku tahu keduanya sedang balapan
menghindar dari basah. Tetapi aku tidak tahu yang mana dari mereka yang akan
berhasil lebih dahulu. Seperti aku tidak tahu kamu sedang di mana.
Mungkin kamu sedang terjebak macet karena
banjir. Maka kamu pasti sedang mengutuk hujan yang tidak berhenti sejak siang
tadi. Karena hujan pasti membuat semua rencanamu tertunda. Sudah pasti semua
rencana yang penting, menurutmu. Termasuk acaramu, latihan piano. Itu salah
satu hal yang penting buatmu. Tetapi itu bukan acara penting untukku. Bagiku
yang kulakukan sekarang juga penting. Duduk-duduk menonton hujan. Bukankah
seharusnya kulakukan bersamamu? Tetapi kamu menganggapnya tidak penting.
"Ayo, cepat, habiskan baksomu. Sebentar
lagi hujan. Nanti kamu kehujanan," katamu. Lagi-lagi aku tidak tahu, yang
mana yang penting untukmu. Bakso, hujan, atau aku? Karena yang penting bagiku
adalah waktu bersamamu. Tidak ada bakso, tidak mengapa. Kehujanan pun tak apa.
Tetapi ada kamu. Ada kamu yang mendengarkan ceritaku tentang bakso.
Tentang hujan. Tentang kamu.
Jadi ketika kau melempar aku begitu saja di
halaman sebuah toko buku, aku tidak tahu kau kemudian menjadi apa. Apakah kamu
menjadi pesawat terbang? Ataukah menjadi burung kecil? Apakah kamu sedang
menuju landasan? Ataukah kamu justru sedang tergesa mencari cemara? Yang
kelihatannya penting, walaupun aku tidak tahu apakah itu benar-benar penting
adalah kau sedang terburu-buru. Mungkin sedang memburu. Atau sedang diburu.
Ah, itu sudah tidak penting lagi bagiku. Karena
sudah hujan. Sudah angin. Sudah dingin. Sudah basah.
Masih di rumah. Masih hujan. Masih di teras.
Masih duduk. Dan masih saja air jatuh satu-satu dari bibir genting. Juga masih
menciprati lantai. Sudah pasti masih menggenangi rumput. Tentu masih susul-menyusul.
Benar-benar masih menjadi bunyi yang paling sepi.
"Nanti aku ke rumahmu. Agak malam. Karena
sekarang masih hujan. Masih banjir. Masih macet," katamu.
Kali ini kulakukan sesuatu yang penting
menurutku. Kubuka pagar lebar-lebar. Agar nanti mobilmu bisa langsung masuk ke
car port. Sehingga ketika kau turun dari mobil, kau tidak kehujanan. Tidak kena
angin. Tidak dingin. Tidak basah.
Tetapi yang kulakukan ternyata tidak penting
untukmu. Kau tetap memarkir mobilmu di jalanan. Di sisi luar pagar. Kamu turun,
berlari kecil menembus rintik. Kamu kehujanan. Kamu kena angin. Kamu
kedinginan. Kamu basah.
Sekian banyak kita bersisipan di antara yang
penting dan tidak penting. Apakah sejenak ada suara hujan menyelinap di antara
nada-nada musik klasik dan jazz yang kau mainkan? Sehingga aku tidak tahu, mana
yang sungguhan penting dan mana yang tidak penting. Aku juga sudah tidak bisa
membedakan irama hujan atau denting piano.
Akhirnya, sampai juga kita kepada satu kata
sepakat. Secangkir coklat panas. Kau menyeruputnya. Dan aku bahagia melihat
wajahmu mulai memerah. Tidak pias. Tidak pucat. Sudah hangat.
"Kamu suka musik klasik atau musik
jazz?" kamu masih saja mengulang pertanyaan yang kamu anggap penting itu.
"Kamu suka hujan waktu pagi hari atau sore
hari?" akhirnya kutanyakan juga pertanyaan yang kuanggap penting ini.
"Aku mau bikin lagu untukmu. Lagu tentang
hujan," katamu tetapi bukan menjawab pertanyaanku.
"Lagu hujan adalah lagu yang paling aku
suka," kurasa kata-kataku juga tidak menjawab pertanyaanmu.
Kemudian seperti biasa kamu berlalu. Tetap
terburu-buru. Aku tidak tahu apakah kamu sedang memburu atau sedang diburu
hujan. Itu sudah tidak penting lagi.
Tahukah kamu kalau aku ingin menyampaikan ada
yang lebih penting?
Bila kamu memeluk hujan, itu aku. Bila kamu
menyentuh dingin, itu aku. Bila kamu mencium angin, itu aku. Maka kamu adalah
tanah yang begitu tabah menadah basah.
Kurasa ini paling penting!***
Surabaya, di ujung tahun 2007
No comments:
Post a Comment