Kompas
Minggu, 29 April 2007
Serdadu Tua dan Jipnya
Cerpen: Wilson Nadeak
Sudahlah! Kita hidup dengan gaji kita saja.
Tidak perlu pikirkan macam-macam. Usia kepala tujuh bukanlah saat yang tepat
untuk merawat mobil tua. Kuno lagi. Onderdil jip itu pun sukar dicari. Biarlah
kami menikmati masa tua, Pak. Kulihat kau selalu risau dengan kendaraan itu.
Sebentar-sebentar pergi ke tempat anak kita dan memintanya supaya
memperbaikinya. Sayang anak kita menghabiskan waktu untuk memperbaiki mobil
itu. Mobil adalah beban. Mengapa kau bebani anak kita untuk membuat jip itu
dapat berjalan kembali? Bannya saja begitu besar, mahal lagi. Belum lagi
keadaan mesinnya yang harus dibongkar pasang, dari awal. Mimpimu pun selalu
tentang jip tua itu. Mengapa sih repot-repot dengan kendaraan yang tidak
mungkin digunakan lagi? Tanpa surat dan tanpa nomor polisi. Semua
serba membingungkan!
Itulah keluhan sang istri mantan Letnan Kolonel
Banun. Ketika Banun membeli jip rongsokan buatan tahun empat puluhan itu dengan
uang pensiunnya, sang istri amat gemas. Uang pensiun yang tidak seberapa itu
harus dibelikan jip tua. "Kita makan dari mana, pak?"
"Rezeki itu selalu ada, Ma. Percayalah,
Tuhan akan memberi makanan bagi kita."
"Tuhan? Memberi makan dengan cara yang
tidak bijaksana?" tanya istrinya yang sudah berusia kepala tujuh.
"Memangnya Tuhan itu kasir? Suka-sukamu mengatur Dia?"
"Nanti akan kaulihat," jawab sang
suami.
"Kau yakin betul?"
"Mengapa tidak? Kukira Tuhan yang mengirim
jip ini kepada kita."
"Jawab doamu, yang merindukan sebuah
kendaraan?"
"Ya."
Istrinya geleng-geleng kepala sambil mengusap
dadanya yang belakangan ini sering berdebar-debar entah karena apa.
"Tetapi bukan mobil seperti ini yang kauminta kepada Tuhan, bukan?
Bukankah mobil yang lengkap surat-suratnya, yang dapat digunakan ke
mana-mana?"
"Ya, memangnya begitu. Tetapi Tuhan
mengirim jip ini, dan kauterima. Bukan kehendak kita, bukan? Kehendak Tuhanlah
yang jadi, Ma."
Lagi-lagi sang istri mengurut dada dan kebetulan
sang suami menengoknya.
"Jantungmu jangan sampai kumat gara-gara
jip tua ini, Ma. Anggaplah ini hiburan pada masa tua kita. Lihat, itu, mobil
Wilys milik anak kita itu. Sudah seratus lima puluh orang yang datang
melihat dan menawarnya dengan harga yang tinggi."
"Mengapa tidak dijual saja dan dipakai sebagai
modal untuk berdagang?"
"Sampai sekarang anak kita masih bertahan
dengan harga yang diinginkannya. Lagi pula, ia senang mengutak-atik Wilys
tuanya itu. Terserah dialah."
Mantan Letkol Banun yang selalu mengambil
pensiun, tetapi tidak diberikan utuh kepada istrinya, alasannya, ada saja
onderdil yang harus dibeli.
Mungkin ia tidak memerhatikan kesehatan istrinya
yang kadang-kadang mendadak sakit karena merasa nyeri di bagian dada. Entah
karena sesuatu, istrinya sering menampik apabila dibawa ke rumah sakit.
"Nanti akan sembuh sendiri," jawabnya kepada suaminya. Sebaliknya,
kalau sang suami yang sakit, ia cepat sekali masuk ke rumah sakit militer.
Setiap kali suster memberi obat, ia membacanya dengan teliti dan kemudian
mengatakan kepada suster bahwa ia tidak mau memakan obat itu.
"Ini obat yang tidak cocok dengan
penyakitku, buat apa? Nanti ada efek sampingan!" komentarnya. Suster tidak
dapat berbuat apa-apa karena pasiennya malah menceritakan apa akibat kalau
makan obat itu. Hanya obat yang murah dan sederhana yang ditelannya.
"Perut saya bukan gudang obat dan bukan pula laboratorium percobaan,"
katanya, yang membuat suster keluar dari ruangan tanpa kata-kata.
Kalau berminggu-minggu ia terbaring sakit di
rumah sakit tentara, orang yang menjenguknya selalu terheran-heran karena ia
penuh semangat bercerita tentang masa lalunya yang kaya dengan pengalaman
derita. Dokter menasihatkan agar ia tidak terlalu banyak bercerita, tetapi ia
tidak peduli. "Ah, saya yang lebih tahu mengenai penyakit saya,"
katanya.
Sekalipun kadang-kadang ia pincang karena borok
yang ada di kakinya, ia selalu tampak gembira. "Penyakit harus dilawan!
Obat itu racun! Nanti luka ini akan sembuh sendiri."
Barangkali itulah resep hidup yang diyakininya,
yang membuatnya melewati ulang tahun pernikahan emas. Anak-anaknya
kadang-kadang cemas juga melihat kondisinya kalau jatuh sakit, tetapi dia
sendiri tetap optimis. Ia senang bercerita kepada cucu-cucu dan menantunya,
mengenai masa lalu yang penuh dengan pergolakan hidup. Ia seorang penutur masa
lampau yang menarik, pencerita yang baik dan detail. Ketika ia bercerita,
menantu dan cucu-cucunya asyik mendengarkan. Istrinya yang kadang-kadang
mengusiknya dengan berkata, "Sudahlah, Pak. Jangan cerita tentang masa
lalu saja. Masa lalu dan masa lalu! Sudah bau tanah pula!"
Banun tidak marah. Ia memang kerap kali
bertengkar, berbeda pendapat. Bahkan berhari-hari tidak saling menyapa, yang
membuat anak-anaknya bertingkah serba salah. Ketika mereka berdamai, ia
berkata, "Itulah orang tua. Tinggal menghitung hari-hari tua, dan menerima
masa mendatang apa adanya." Mendengar itu, anak-anak mengangguk dan
cucunya dengan ringannya bersenandung, "Perdamaian, perdamaian...."
Sang istri mengalah soal jip tuanya. Kalau uang
pensiun berkurang, ia bersikap diam. Tampaknya ia tahu bahwa suaminya sering
menyurati anak-anak supaya membantu mereka tiap bulan karena uang pensiun tidak
cukup untuk kondisi perekonomian sekarang ini. Tentu tanpa menyebut-nyebut jip
tua itu. Dan sang istri kenyataannya sering menerima kiriman uang dari
anak-anaknya yang sudah bekerja di kota pulau lain.
Sekali iparnya datang berkunjung ke rumahnya. Ia
menunjukkan jip tua yang sedang diperbaiki secara total. Ia mengandalkan kemahiran
anaknya memperbaiki kendaraan.
"Mengapa Ipar tertarik dengan jip tua
ini?"
"Nah, ini pertanyaan yang kusukai. Selama
ini istriku selalu ngomel karena aku membelinya. Macam-macam keluhan yang
dikatakannya dari hari ke hari, sampai aku menjadi jemu. Dan ia pun berhenti
sendiri mengomel. Karena Ipar menanyakan soal ?tertarik? maka aku akan
menceritakannya. Begini."
Mantan Letkol Banun bertutur.
Saat itu, sekitar tahun 1947 atau tahun 1948.
Ya, persisnya aku tidak tahu. Yang jelas aku berusia kira-kira 17 tahun.
Pasukan kami terperangkap di sebuah medan tempur, dekat danau. Kami yang
menyergap iring-iringan pasukan Belanda di tikungan, kehabisan peluru. Sebagian
lari ke gunung berhutan dan sebagian lagi ada yang tewas tergeletak tanpa ada
yang mengangkutnya. Aku sendiri berusaha lari ke kaki bukit. Namun peluru
berdesingan di atas kepala sehingga aku tiarap di tanah. Tahu-tahu, sebuah
laras senapan sudah diarahkan ke kepalaku sambil terdengar teriakan,
"Berdiri! Kalau tidak kutembak!"
Aku berdiri sambil menaruh kedua tangan di
kepala bagian belakang. Aku digiring ke kendaraan militer yang ada di tikungan.
Aku didorong masuk ke dalam truk militer. Sejam kemudian pasukan itu tiba di
barak-barak militer yang tidak jauh dari tepi danau.
Aku segera dibawa ke tempat interogasi. Serang
prajurit yang beringas, berkulit lebih gelap dari kulitku, menampar mukaku dan
kemudian mendorongku ke dinding. Kedua tanganku terikat ke belakang. Pukulannya
menghunjam di perut membuat aku menjerit dan hampir muntah. Dadaku ditonjoknya
dengan keras yang membuatku mengerang dan jatuh terduduk.
"Kau ekstremis, ya! Mengaku!" katanya
sambil menendang kakiku dengan ujung tumit sepatu larsnya. Aku nyaris rebah.
"Jawab! Monyet kamu, ya?"
Rasa sakit terasa di sekujur tubuh. Ia menyiram
tubuhku dengan air yang membuat luka di kakiku terasa nyeri dan pedih.
"Kau teroris! Ekstremis keparat! Ayo, mengaku!" Ditendangnya tubuhku
sampai terbujur di lantai. Tubuhku menjadi basah karena air yang menggenang di
lantai. "Kalau kau tidak mengaku, tubuhmu akan disetrom. Ia memutar-mutar
baterai di depan mataku, mengambil sebuah engkol dan menyambungkannya dengan
kabel yang hendak dibelitkan ke tubuhku. Aku menjadi ngeri dan mengaduh.
"Ayo, mengaku!"
Sebelum arus listrik menyentuh sekujur tubuhku
dengan perlahan aku mengaku. "Ya," jawabku.
"Nah, bagus!" katanya sambil
menyeringai. "Itu lebih baik bagimu."
Ia membuka tali ikatan tanganku. Menarikku
supaya berdiri dengan entakkan yang keras sehingga tubuhku terayun dan lenganku
terasa nyeri.
Dengan kepala dan tubuh yang basah disuruhnya
aku duduk di depan meja tua. Ia duduk di seberang meja dan mulai menulis di
atas kertas.
Ia menanyakan namaku, asal, nama orangtua, nama
saudara, kawan sekampung, nama pasukan, siapa komandan, siapa yang menyuruh memerangi
Belanda, dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Kujawab seadanya. Kepalaku masih pusing.
Entahkah nama orang yang kusebut betul atau tidak, aku tidak tahu. Sekadar
menyebut nama saja. Lalu ia menyodorkan secarik kertas kepadaku untuk
ditandatangani.
Aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Kulihat
di sana ada beberapa orang yang babak belur, tergeletak di lantai.
Yang lain bersandar di dinding dengan pandang mata yang
nanap. Ada yang kukenal dan aku bersikap seperti tidak mengenal. Ia
pun bersikap demikian. Aku tidak tahu siapa lawan siapa kawan. Kurasa, di dalam
tahanan itu pastilah ada mata-mata, kuduga, mereka yang tidak ada luka di
tubuh.
Dalam dua minggu di rumah tahanan itu, aku
melihat orang yang dibawa dan tidak pernah kembali. Pada suatu hari, aku
dipanggil dan kukira itulah akhir hidupku. Aku dibawa ke rumah komandan pasukan
Belanda yang baru saja diganti. Ia baru kembali di negeri Belanda setelah
negeri itu dibebaskan dari pasukan penjajahan Jerman.
Prajurit yang membawaku menghadap komandan itu
mengatakan bahwa aku adalah ekstremis yang tertangkap dalam pertempuran
beberapa minggu yang lalu. Pak Komandan menerima penyerahanku dan menempatkan
aku tidak jauh dari barak tempat pengawalnya berjaga.
Akhirnya aku tahu bahwa nama komandan pasukan
Belanda itu adalah Kapten Van den Bosch. Setiap hari ia memanggil aku. Hari
pertama ia menanyaiku dan yang pertama ditanyakannya bukan siapa namaku,
melainkan, "Berapa umurmu." Kujawab bahwa umurku enam belas tahun.
Aku menguranginya satu tahun. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,
"Kau masih anak-anak. Anak-anak tidak baik memegang senjata."
Kutahu kemudian bahwa van den Bosch pernah
bertugas di Betawi, Pulau Jawa, sebelum Perang Dunia II meletus, dan paham
bahasa Melayu.
"Nak," katanya. "Tugasmu setiap
hari adalah membersihkan kendaraan di sini. Semua kendaraan yang ada di sini
harus kau bersihkan setiap hari. Khusus jip komandan, kau harus bersihkan
sampai mengilap, rapi. Ambil air dari danau. Mengerti? Laksanakan!"
Maka tugasku setiap hari mengangkat air dari
tepi danau dan mencuci semua kendaraan yang ada. Tentu yang pertama kuurus
ialah jip komandan, van den Bosch. Setiap pagi aku ke tepi danau, mengisi ember
dan mengikutinya untuk mencuci kendaraan. Kulihat nelayan yang pulang pagi
membawa ikan hasil tangkapannya. Sesekali aku ngobrol dengan mereka. Tetapi aku
harus hati-hati karena mereka pun pastilah bagian dari kaki tangan Belanda.
Tidak ada nelayan yang sebebas mereka bila tidak ada kaitannya dengan tentara
Belanda.
Pada suatu sore Kapten van den Bosch memanggilku
ke kantornya. Hal itu jarang terjadi. Baru kali ini aku dipanggil secara
khusus.
"Nak, aku kasihan padamu. Usiamu masih amat
muda. Tidak pantas kau bertempur dimedan perang. Karena itu, begini saja.
Nanti sore, menjelang hari gelap, kau kempeskan semua ban kendaraan. Semua
saja. Lalu kau lari minta tolong kepada nelayan yang selalu berada di dekat
pantai itu. Mengerti?"
Aku terkesiap. Apakah ini sebuah jebakan? Van
den Bosch mengulang, "Mengerti?"
"Ya," Kataku gugup.
"Laksanakan!"
Aku keluar dan segera mengangkat ember dan
kembali mencuci kendaraan yang ada sampai gelap tiba. Satu demi satu ban
kendaraan kukempeskan, juga jip komandan. Kemudian aku menyelinap setelah
kurasa situasi aman, bergegas ke tepi danau dan betul di sana ada nelayan
yang duduk di atas perahu. Kukatakan kepadanya bahwa komandan menyuruhku lari.
"Betul?" Jawab nelayan itu. "Ya," jawabku. Dan ia membawa
aku menjauh dari pantai dan di tengah kegelapan malam, aku tiba di sebuah
perkampungan yang aman dari jangkauan tentara Belanda dan aku bergabung kembali
dengan induk pasukan.
Mantan Letkol Banun berhenti sejenak menarik
napas.
"Ipar," katanya meneruskan ceritanya,
"jip ini mengingatkan aku selalu kepada van den Bosch. Kalau jip ini sudah
selesai dilengkapi maka di bagian belakang ini, di atas nomor pelat, akan
kutulis besar-besar dari ujung kiri ke ujung kanan: VAN DEN BOSCH, dan di
bagian atas akan kukibarkan bendera Merah Putih yang terbuat dari bahan pelat
yang sebesar bendera biasa."
Sang Ipar mengangguk mengerti.***
Bandung, 9 Februari 2007
Diposting
oleh BAHASTRA INDONESIA
No comments:
Post a Comment