Lampung Post
Minggu, 02 Desember 2007
Serpih Persahabatan
Cerpen: Eni Muslihah
PUKUL 06.00, telepon seluler Sari berdering sekali,
menandakan pesan singkat masuk ke ponsel-nya. Sari memang punya kebiasaan yang
tidak bagus, sehabis salat subuh Sari sering melanjutkan mimpi yang sempat
terputus. Tidak jarang ibunya selalu menasihatinya supaya jangan meneruskan
kebiasaan buruknya.
"Bangun Nak, katanya kau mau pergi pagi ini," kata ibu Sari, sambil membuka jendela kamar Sari. "Kebiasaan mu ini jangan diteruskan, gimana kalau kamu nanti berumah-rumahan alias berumah tangga kelak. Kasihan suami mu Nak," ujar Ibu Sari. "Tuh, ponsel kamu bunyi," kata ibu Sari, sambil menunjuk ponsel putri bungsunya.
"Makasih ya Bu udah bangunin aku. Tapi Bu, ini kan baru pukul 06.00," jawab Sari sambil meraba-raba mencari ponsel-nya yang baru saja berdering. "Maaf Bu, semalam aku tidur agak malam, jadinya ngantuk berat," sahut Sari, sambil membuka pesan singkat yang mengusik tidur paginya.
Ternyata pesan singkat itu asalnya dari Dea, sahabat Sari. Dea berusia jauh lebih di atas dari Sari dan Dea sudah berkeluarga. Sekarang Dea memiliki tiga anak yang lucu-lucu, Sari pun sangat menyenangi ketiga anaknya itu. Walaupun usia Dea terpaut jauh dengan Sari, Dea bisa mengimbangi pertemanan mereka. Makanya, persahabatan mereka lumayan langgeng.
"Ups, SMS dari Mba Dea," kata Sari sambil menunggu pesan yang ingin disampaikan Dea terbuka. Maklumlah ponsel Sari bukan barang mahal, jadi menunggu pesan terbuka semua membutuhkan waktu beberapa detik.
Betapa terkejutnya Sari membaca pesan yang berisikan ungkapan kekecewaan Dea pada Sari. "Ri, apa perlu aku hadir pada rapat tanggal 17 September itu? Sepertinya Kau sudah bisa jalan tanpa aku. Maaf ya Sar, semaleman aku gak bisa tidur mikirin tabloid. Aku malu namaku masih nampang di situ, sedangkan tak satu pun tulisan maupun konsepku muncul di sana. Kalau kau memang bisa kerjakan sendiri silakan saja," begitu pesan yang disampaikan Dea pada Sari.
Dea dan Sari memang terlibat sebuah organisasi besar. Mereka berdua satu tim. Bidang yang mereka geluti adalah informasi publik. Salah satu produknya Sinar Abadi. Selama ini Dea bertanggung jawab atas penerbitan karena kesibukannya sebagai seorang pekerja di salah satu instansi swasta dan sebagai seorang ibu yang harus mengasuh ketiga anaknya, akhirnya terbitnya Sinar Abadi sering tertunda. Sementara itu, Sari adalah seorang mahasiswi semester akhir di perguruan swasta tempatnya tinggal. Waktu luang yang dimiliki Sari relatif banyak, karena tidak ada lagi jadwal perkuliahan yang harus di tempuh Sari. Makanya, Sari sering muncul dan mengaktualisasikan kegemarannya sebagai penulis di organisasi itu.
Sari terdiam usai membaca pesan dari Dea. Tanpa sadar, Sari telah mengabaikan ibunya yang terus saja berbicara padanya.
"Sar, kamu denger ibu kan?" tanya ibunya.
"Maaf bu. Ibu tadi bilang apa?" Sari balik bertanya pada ibunya, yang baru tersentak dari lamunannya.
"Kamu ini masih pagi udah ngelamun. SMS dari siapa? Ibu tadi bilang buruan cuci piring, tapi ibu sudah nyapu halaman depan," lanjut wanita paro baya itu pada putri bungsunya.
"Tenang Bu, itu udah jadi kewajiban Sari. Pasti aku kerjain. Sari gak bakal pergi sebelum pekerjaan rumah selesai," celoteh Sari pada ibunya, sambil menutup pesan dari Dea. Sari tidak sempat membalas SMS Dea, keburu ibunya bicara panjang lebar. Langsung saja Sari beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mengerjakan tugas rutinnya.
***
Seminggu sudah Sari tidak menjalin komunikasi pada Dea lewat SMS. Sari masih bingung harus menjawab bagaimana pesan Dea. Sampai akhirnya mereka harus bertemu. Gadis berkulit hitam manis itu mencoba meraba-raba perkataan dan sikap apa yang membuat Dea jadi marah. Tiba-tiba muncul dalam benak Sari Tabloid Sinar Abadi.
"Ups. Kenapa sewaktu ini terbit, aku gak pernah konfirmasi dengan Mba Dea ya," jujur Sari pada dirinya sendiri. Bahkan, yang membuat Dea lebih kesal, tabloid itu sampai ada di tangannya, tak sepatah kata pun Sari memberi tahu, baik lewat SMS maupun yang lainnya. Padahal, sebelumnya Dea sudah mengirim pesan pancingan. Harapan Dea, Sari akan memberi tahu terbitnya dari mulut Sari.
"Oh Sari! Betapa bodohnya kau ini, kenapa pula gak bilang-bilang kalo Sinar Abadi sudah terbit," keluh Sari pada dirinya sendiri.
Sari bingung bagaimana menjelaskan keteledorannya itu pada Dea. Tak lama kemudian, Sari teringat Arman, atasan Sari dan Dea. Sari berpikir Arman adalah orang yang tepat menyelesaikan masalah uang sedang dihadapinya. SMS yang Dea kirimkan sepekan lalu pun langsung di-forward ke Arman. Arman pun membalas SMS Sari.
"Sar, masalah ini miskomunikasi aja. Kesalahan sepenuhnya tidak cuma di Sari aja, Saya yang tanggung jawab. Nanti saya menghubungi Dea, tetep semangat ya...!" pesan balasan Arman pada Sari.
Kini Sari mulai tenang. Berharap pada Arman masalah ini selesai dengan baik-baik. Tiga hari berikutnya, Sari bertemu Arman di salah satu tempat tanpa sengaja. Sari pun menanyakan kembali perkembangan masalahnya.
"Gimana urusan kita, selesai?" tanya Sari pada Arman, mengawali perjumpaan mereka.
"Oh.. saya belum menghubunginya. Nantilah cari waktu yang tepat. Sekarang saya masih banyak urusan. Sabar ya," jawab Arman dengan meyakinkan Sari.
"Pokoknya saya gak mau masalah ini kelamaan. Saya udah kangen sama anak-anaknya. Saya berharap ending bagus!" pinta Sari.
"Ya dah...tenang Bos," timpal Arman.
Belum sempat Arman menghubungi Dea untuk membicarakan permasalah itu, keesokan harinya Sari dan Dea bertemu di sebuah pesta pernikahan rekan mereka. Sari merasa kikuk. Pertemuan ini tidak seperti biasanya. Ada sekitar setengah jam Sari dan Dea tidak memulai percakapan. Kebekuan suasana itu pun akhirnya menyair karena tangisan anak Dea yang bungsu. Sari sibuk, berusaha menenangkan si kecil. Alhasil anak Dea pun terhenti dari tangisannya.
Barulah tiga menit pertama Sari memulai pembicaraan. "Mba Dea, gimana kesibukanmu sekarang?" tanya Sari yang berusaha mencairkan suasana. "Aku minta maaf, SMS-mu waktu itu gak saya bales. Aku bingung gimana bales-nya," lanjut Sari.
"Saat itu yang ada di pikiranku, gimana caranya Sinar Abadi bisa terbit. Gak satu pun dari temen-temen tim saya beri tahu. Sekali lagi maaf ya," tutur Sari.
Dea pun senyum kecut tanpa melihat Sari. "Menurutku, terbitnya Sinar Abadi tanpa memberi tahu aku, terjawab sudah," jawab Dea. "Kayaknya emang aku dah gak layak lagi berada di organisasi ini," tambahnya. "Tapi demi Allah, aku sudah berusaha meluangkan waktu untuk bisa eksis di sini. Dan kenyataannya aku tidak bisa," keluh Dea pada Sari.
"Mungkin jalan yang terbaik, aku harus memilih mana yang prioritas buat hidupku. Tapi kalau Sari bisa mengerjakan dengan sendirian tabloid itu, ya silakah sajalah," ungkap Dea sambil menahan rasa sedihnya.
Kembali Sari tidak bisa mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Senja pun mulai menyingsing, dan pertemuan mereka pun harus berakhir tanpa ada penyelesaian yang tegas. Sekali lagi, Sari hanya bisa mengucap kata "maaf", Sari pun berlalu dari Dea.
Usai prtemuan itu, semalaman Sari tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka berdua. Lagi-lagi, Sari berharap pada Arman untuk bisa menenangkan perasaannya. Kemudian Sari mengirimkan pesan lewat telepon selulernya pada Arman. Sari menyeritakan hasil pertemuannya dengan Dea. Tapi sayang, Arman tidak membalas pesan dari Sari.
Akhirnya Sari pun memutuskan untuk menceritakan permasalahan itu pada Tio, teman Sari. Kebetulan Tio juga banyak tau tentang Dea. Tio memang orang yang bijak, dari Tio lah Sari banyak belajar memetik sebuah hikmah dari sebuah persoalan. Walaupun pada dasarnya Tio punya sifat yang sedikit temperamen. Tapi di satu sisi Tio orangnya cukup baik dan menenangkan hati.
Tak terasa waktu terus berlalu dan malam pun makin larut. Perlahan tapi pasti permasalahan yang tengah Sari hadapi tenggelam menjadi sebuah mimpi yang indah. Sari terbangun lantaran mendengar azan subuh berkumandang. Sedikit banyaknya Sari mulai melupakan kejadian bersama Dea kemarin. Bergegaslah Sari pergi ke kamar mandi, mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh.
Kriiiing..., ponsel Sari berdering, tanda ada pesan yang masuk. Sebuah pesan dari Dea. Sari pun buru-buru menuntaskan salat subuhnya. Pesan itu berbunyi pengulangan pesan Dea yang lalu. Ternyata beberapa pesan Dea yang lain tidak bisa terbuka di ponsel Sari. Yahh...maklumlah ponsel Sari sudah lawas.
Dengan percaya diri Sari membalas dengan kata-kata, "SMS-mu ini sudah aku baca, dan sampai kapanpun akan tetap kusimpan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga buatku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya Mba...," begitu balasan Sari.
Tak lama kemudian, Dea pun membalas dengan pesan yang cukup mengejutkan yang berbunyi, "Aku pun belajar dari orang-orang yang tampak loyal. Ternyata tidak cuma fulan...carilah cara yang lain dik, jangan menikam dari belakang," balasan Dea kembali pada Sari.
Sontak Sari terkejut. Begitu besarkah rasa marah Dea pada Sari sehingga dipenghujung pesannya begitu mengena sasaran. Padahal sepengetahuannya, pesan-pesan seperti itu tidak mungkin keluar dari seorang Dea. Sari tahu persis siapa Dea, karakter menghunjam orang tidak mungkin muncul dari diri seorang Dea.
Sari dengan penuh rasa emosi bercampur sedih, mengirim ulang pesan itu kepada Arman. Arman-lah satu-satunya orang yang berhak membaca pesan Dea. Dengan penuh kemarahan, Sari meminta untuk bertemu sesegera mungkin pada Arman. Sari minta pertanggungjawaban Arman atas persoalan ini. Sepanjang jalan menuju kantor organisasi yang menerbitkan Tabloid Sinar Abadi, Sari menangis. Kepalanya terasa berat. Seperti ada batu besar yang menimpanya.
Dalam hati, Sari selalu berkata, "Aku bukan orang yang seperti ada dalam pikiranmu Dea. Aku adalah Sari yang selalu ingin bersamamu baik dalam senang maupun susah."
Sesampainya di kantor tersebut, Sari langsung meminjam ponsel temannya untuk membuka pesan yang tidak bisa dibaca di pesawat teleponnya. Pesan itu adalah pesan terusan yang berbunyi "Aku agak sulit memaafkan kejadian ini semua, toh maafku tidak begitu berarti bagimu. Ada dan tiadanya aku, kau tetap berprestasi. Teruslah kau berkiprah selagi kau belum berkeluarga dan beranak -inak. Biar Allah saja yang tahu," pesan yang cukup mengguncangkan hati Sari. Wajar kalau Sari memutuskan persoalan ini untuk diketahui Arman dan meminta segera diselesaikan.
Pada akhirnya, Arman pun turun tangan menyelesaikan persoalan yang tampak sepele ini. Pagi sekali Arman berkunjung ke rumah Dea, tapi sayang Dea sudah keburu pergi bekerja. Arman pun bertemu dengan suami Dea dan menyeritakan duduk persoalan ini pada suami Dea. Arman berharap persoalan ini segera berakhir dengan cara yang baik.
Memang apa yang diharapkan Arman terwujud. Keesokannya Dea mendatangi rumah Sari. Membawa buah tangan. Sari pun terheran dengan perlakuan Dea yang tampak tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kemarin, sempat terjadi ketegangan antara mereka.
Sari menyambut gembira kedatangan Dea walaupun hanya beberapa menit saja. Sari berpikir selesai sudah persoalan antara mereka dan hari-hari berikutnya Sari berharap hubungan mereka tetap seperti sediakala.
Sayang, harapan Sari tidak tercapai. Rupanya Dea masih membutuhkan waktu lama untuk bisa melupakan kejadian yang dialaminya. Akhirnya, walaupun selesai permasalahan mereka, tetap saja masih ada jarak antara mereka, kaca yang sudah pernah pecah tidak mungkin bisa disatukan kembali seperti sedia kala. Enam bulan berikutnya Dea pergi ke Pulau Jawa, menemani sang suami yang sedang bertugas di sana. Empat tahun berikutnya, Dea sudah punya momongan baru dan Sari sudah berkeluarga bersama lelaki yang diharapkannya.***
"Bangun Nak, katanya kau mau pergi pagi ini," kata ibu Sari, sambil membuka jendela kamar Sari. "Kebiasaan mu ini jangan diteruskan, gimana kalau kamu nanti berumah-rumahan alias berumah tangga kelak. Kasihan suami mu Nak," ujar Ibu Sari. "Tuh, ponsel kamu bunyi," kata ibu Sari, sambil menunjuk ponsel putri bungsunya.
"Makasih ya Bu udah bangunin aku. Tapi Bu, ini kan baru pukul 06.00," jawab Sari sambil meraba-raba mencari ponsel-nya yang baru saja berdering. "Maaf Bu, semalam aku tidur agak malam, jadinya ngantuk berat," sahut Sari, sambil membuka pesan singkat yang mengusik tidur paginya.
Ternyata pesan singkat itu asalnya dari Dea, sahabat Sari. Dea berusia jauh lebih di atas dari Sari dan Dea sudah berkeluarga. Sekarang Dea memiliki tiga anak yang lucu-lucu, Sari pun sangat menyenangi ketiga anaknya itu. Walaupun usia Dea terpaut jauh dengan Sari, Dea bisa mengimbangi pertemanan mereka. Makanya, persahabatan mereka lumayan langgeng.
"Ups, SMS dari Mba Dea," kata Sari sambil menunggu pesan yang ingin disampaikan Dea terbuka. Maklumlah ponsel Sari bukan barang mahal, jadi menunggu pesan terbuka semua membutuhkan waktu beberapa detik.
Betapa terkejutnya Sari membaca pesan yang berisikan ungkapan kekecewaan Dea pada Sari. "Ri, apa perlu aku hadir pada rapat tanggal 17 September itu? Sepertinya Kau sudah bisa jalan tanpa aku. Maaf ya Sar, semaleman aku gak bisa tidur mikirin tabloid. Aku malu namaku masih nampang di situ, sedangkan tak satu pun tulisan maupun konsepku muncul di sana. Kalau kau memang bisa kerjakan sendiri silakan saja," begitu pesan yang disampaikan Dea pada Sari.
Dea dan Sari memang terlibat sebuah organisasi besar. Mereka berdua satu tim. Bidang yang mereka geluti adalah informasi publik. Salah satu produknya Sinar Abadi. Selama ini Dea bertanggung jawab atas penerbitan karena kesibukannya sebagai seorang pekerja di salah satu instansi swasta dan sebagai seorang ibu yang harus mengasuh ketiga anaknya, akhirnya terbitnya Sinar Abadi sering tertunda. Sementara itu, Sari adalah seorang mahasiswi semester akhir di perguruan swasta tempatnya tinggal. Waktu luang yang dimiliki Sari relatif banyak, karena tidak ada lagi jadwal perkuliahan yang harus di tempuh Sari. Makanya, Sari sering muncul dan mengaktualisasikan kegemarannya sebagai penulis di organisasi itu.
Sari terdiam usai membaca pesan dari Dea. Tanpa sadar, Sari telah mengabaikan ibunya yang terus saja berbicara padanya.
"Sar, kamu denger ibu kan?" tanya ibunya.
"Maaf bu. Ibu tadi bilang apa?" Sari balik bertanya pada ibunya, yang baru tersentak dari lamunannya.
"Kamu ini masih pagi udah ngelamun. SMS dari siapa? Ibu tadi bilang buruan cuci piring, tapi ibu sudah nyapu halaman depan," lanjut wanita paro baya itu pada putri bungsunya.
"Tenang Bu, itu udah jadi kewajiban Sari. Pasti aku kerjain. Sari gak bakal pergi sebelum pekerjaan rumah selesai," celoteh Sari pada ibunya, sambil menutup pesan dari Dea. Sari tidak sempat membalas SMS Dea, keburu ibunya bicara panjang lebar. Langsung saja Sari beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mengerjakan tugas rutinnya.
***
Seminggu sudah Sari tidak menjalin komunikasi pada Dea lewat SMS. Sari masih bingung harus menjawab bagaimana pesan Dea. Sampai akhirnya mereka harus bertemu. Gadis berkulit hitam manis itu mencoba meraba-raba perkataan dan sikap apa yang membuat Dea jadi marah. Tiba-tiba muncul dalam benak Sari Tabloid Sinar Abadi.
"Ups. Kenapa sewaktu ini terbit, aku gak pernah konfirmasi dengan Mba Dea ya," jujur Sari pada dirinya sendiri. Bahkan, yang membuat Dea lebih kesal, tabloid itu sampai ada di tangannya, tak sepatah kata pun Sari memberi tahu, baik lewat SMS maupun yang lainnya. Padahal, sebelumnya Dea sudah mengirim pesan pancingan. Harapan Dea, Sari akan memberi tahu terbitnya dari mulut Sari.
"Oh Sari! Betapa bodohnya kau ini, kenapa pula gak bilang-bilang kalo Sinar Abadi sudah terbit," keluh Sari pada dirinya sendiri.
Sari bingung bagaimana menjelaskan keteledorannya itu pada Dea. Tak lama kemudian, Sari teringat Arman, atasan Sari dan Dea. Sari berpikir Arman adalah orang yang tepat menyelesaikan masalah uang sedang dihadapinya. SMS yang Dea kirimkan sepekan lalu pun langsung di-forward ke Arman. Arman pun membalas SMS Sari.
"Sar, masalah ini miskomunikasi aja. Kesalahan sepenuhnya tidak cuma di Sari aja, Saya yang tanggung jawab. Nanti saya menghubungi Dea, tetep semangat ya...!" pesan balasan Arman pada Sari.
Kini Sari mulai tenang. Berharap pada Arman masalah ini selesai dengan baik-baik. Tiga hari berikutnya, Sari bertemu Arman di salah satu tempat tanpa sengaja. Sari pun menanyakan kembali perkembangan masalahnya.
"Gimana urusan kita, selesai?" tanya Sari pada Arman, mengawali perjumpaan mereka.
"Oh.. saya belum menghubunginya. Nantilah cari waktu yang tepat. Sekarang saya masih banyak urusan. Sabar ya," jawab Arman dengan meyakinkan Sari.
"Pokoknya saya gak mau masalah ini kelamaan. Saya udah kangen sama anak-anaknya. Saya berharap ending bagus!" pinta Sari.
"Ya dah...tenang Bos," timpal Arman.
Belum sempat Arman menghubungi Dea untuk membicarakan permasalah itu, keesokan harinya Sari dan Dea bertemu di sebuah pesta pernikahan rekan mereka. Sari merasa kikuk. Pertemuan ini tidak seperti biasanya. Ada sekitar setengah jam Sari dan Dea tidak memulai percakapan. Kebekuan suasana itu pun akhirnya menyair karena tangisan anak Dea yang bungsu. Sari sibuk, berusaha menenangkan si kecil. Alhasil anak Dea pun terhenti dari tangisannya.
Barulah tiga menit pertama Sari memulai pembicaraan. "Mba Dea, gimana kesibukanmu sekarang?" tanya Sari yang berusaha mencairkan suasana. "Aku minta maaf, SMS-mu waktu itu gak saya bales. Aku bingung gimana bales-nya," lanjut Sari.
"Saat itu yang ada di pikiranku, gimana caranya Sinar Abadi bisa terbit. Gak satu pun dari temen-temen tim saya beri tahu. Sekali lagi maaf ya," tutur Sari.
Dea pun senyum kecut tanpa melihat Sari. "Menurutku, terbitnya Sinar Abadi tanpa memberi tahu aku, terjawab sudah," jawab Dea. "Kayaknya emang aku dah gak layak lagi berada di organisasi ini," tambahnya. "Tapi demi Allah, aku sudah berusaha meluangkan waktu untuk bisa eksis di sini. Dan kenyataannya aku tidak bisa," keluh Dea pada Sari.
"Mungkin jalan yang terbaik, aku harus memilih mana yang prioritas buat hidupku. Tapi kalau Sari bisa mengerjakan dengan sendirian tabloid itu, ya silakah sajalah," ungkap Dea sambil menahan rasa sedihnya.
Kembali Sari tidak bisa mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Senja pun mulai menyingsing, dan pertemuan mereka pun harus berakhir tanpa ada penyelesaian yang tegas. Sekali lagi, Sari hanya bisa mengucap kata "maaf", Sari pun berlalu dari Dea.
Usai prtemuan itu, semalaman Sari tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka berdua. Lagi-lagi, Sari berharap pada Arman untuk bisa menenangkan perasaannya. Kemudian Sari mengirimkan pesan lewat telepon selulernya pada Arman. Sari menyeritakan hasil pertemuannya dengan Dea. Tapi sayang, Arman tidak membalas pesan dari Sari.
Akhirnya Sari pun memutuskan untuk menceritakan permasalahan itu pada Tio, teman Sari. Kebetulan Tio juga banyak tau tentang Dea. Tio memang orang yang bijak, dari Tio lah Sari banyak belajar memetik sebuah hikmah dari sebuah persoalan. Walaupun pada dasarnya Tio punya sifat yang sedikit temperamen. Tapi di satu sisi Tio orangnya cukup baik dan menenangkan hati.
Tak terasa waktu terus berlalu dan malam pun makin larut. Perlahan tapi pasti permasalahan yang tengah Sari hadapi tenggelam menjadi sebuah mimpi yang indah. Sari terbangun lantaran mendengar azan subuh berkumandang. Sedikit banyaknya Sari mulai melupakan kejadian bersama Dea kemarin. Bergegaslah Sari pergi ke kamar mandi, mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh.
Kriiiing..., ponsel Sari berdering, tanda ada pesan yang masuk. Sebuah pesan dari Dea. Sari pun buru-buru menuntaskan salat subuhnya. Pesan itu berbunyi pengulangan pesan Dea yang lalu. Ternyata beberapa pesan Dea yang lain tidak bisa terbuka di ponsel Sari. Yahh...maklumlah ponsel Sari sudah lawas.
Dengan percaya diri Sari membalas dengan kata-kata, "SMS-mu ini sudah aku baca, dan sampai kapanpun akan tetap kusimpan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga buatku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya Mba...," begitu balasan Sari.
Tak lama kemudian, Dea pun membalas dengan pesan yang cukup mengejutkan yang berbunyi, "Aku pun belajar dari orang-orang yang tampak loyal. Ternyata tidak cuma fulan...carilah cara yang lain dik, jangan menikam dari belakang," balasan Dea kembali pada Sari.
Sontak Sari terkejut. Begitu besarkah rasa marah Dea pada Sari sehingga dipenghujung pesannya begitu mengena sasaran. Padahal sepengetahuannya, pesan-pesan seperti itu tidak mungkin keluar dari seorang Dea. Sari tahu persis siapa Dea, karakter menghunjam orang tidak mungkin muncul dari diri seorang Dea.
Sari dengan penuh rasa emosi bercampur sedih, mengirim ulang pesan itu kepada Arman. Arman-lah satu-satunya orang yang berhak membaca pesan Dea. Dengan penuh kemarahan, Sari meminta untuk bertemu sesegera mungkin pada Arman. Sari minta pertanggungjawaban Arman atas persoalan ini. Sepanjang jalan menuju kantor organisasi yang menerbitkan Tabloid Sinar Abadi, Sari menangis. Kepalanya terasa berat. Seperti ada batu besar yang menimpanya.
Dalam hati, Sari selalu berkata, "Aku bukan orang yang seperti ada dalam pikiranmu Dea. Aku adalah Sari yang selalu ingin bersamamu baik dalam senang maupun susah."
Sesampainya di kantor tersebut, Sari langsung meminjam ponsel temannya untuk membuka pesan yang tidak bisa dibaca di pesawat teleponnya. Pesan itu adalah pesan terusan yang berbunyi "Aku agak sulit memaafkan kejadian ini semua, toh maafku tidak begitu berarti bagimu. Ada dan tiadanya aku, kau tetap berprestasi. Teruslah kau berkiprah selagi kau belum berkeluarga dan beranak -inak. Biar Allah saja yang tahu," pesan yang cukup mengguncangkan hati Sari. Wajar kalau Sari memutuskan persoalan ini untuk diketahui Arman dan meminta segera diselesaikan.
Pada akhirnya, Arman pun turun tangan menyelesaikan persoalan yang tampak sepele ini. Pagi sekali Arman berkunjung ke rumah Dea, tapi sayang Dea sudah keburu pergi bekerja. Arman pun bertemu dengan suami Dea dan menyeritakan duduk persoalan ini pada suami Dea. Arman berharap persoalan ini segera berakhir dengan cara yang baik.
Memang apa yang diharapkan Arman terwujud. Keesokannya Dea mendatangi rumah Sari. Membawa buah tangan. Sari pun terheran dengan perlakuan Dea yang tampak tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kemarin, sempat terjadi ketegangan antara mereka.
Sari menyambut gembira kedatangan Dea walaupun hanya beberapa menit saja. Sari berpikir selesai sudah persoalan antara mereka dan hari-hari berikutnya Sari berharap hubungan mereka tetap seperti sediakala.
Sayang, harapan Sari tidak tercapai. Rupanya Dea masih membutuhkan waktu lama untuk bisa melupakan kejadian yang dialaminya. Akhirnya, walaupun selesai permasalahan mereka, tetap saja masih ada jarak antara mereka, kaca yang sudah pernah pecah tidak mungkin bisa disatukan kembali seperti sedia kala. Enam bulan berikutnya Dea pergi ke Pulau Jawa, menemani sang suami yang sedang bertugas di sana. Empat tahun berikutnya, Dea sudah punya momongan baru dan Sari sudah berkeluarga bersama lelaki yang diharapkannya.***
Diposting
oleh BAHASTRA INDONESIA
No comments:
Post a Comment