Riau Pos
Minggu, 23
Maret 2008
SEKOLAH PARA SETAN
Cerpen: Musa Ismail
Sekolah itu bagai
rumah setan. Isinya pun laksana setan. Tetapi, sebagaiannya laksana malaikat.
Siswa memekau. Guru linglung laksana hilang akal. Kebingungan berputar. Lalu,
membentur tembok-tembok melangit. Terpelanting sekian depa. Semuanya kandas
pada keyakinan. Setan-setan terbang seperti keyakinan sebagian isi sekolah itu.
Setan-setan tertawa sebagaimana para pemujanya. Para laknatullah itu menyerang
laksana invasi AS terhadap Irak dan Afganistan. Mereka menyeringai. Melotot.
Meneror. Kemudian, masuk ke jiwa yang kering.
’’Kubunuh kalian.
Keparat. Kalian kotor. Manusia laknat. Pelaku maksiat,’’ Victoria, siswa di
sekolah itu, menjerit. Matanya membelalak. Kedua tangannya meronta. Kedua
kakinya menerjang. Empat temannya terpelanting dikebas. Voctoria lepas. Dia
berlari. Siswa pintar itu seperti mengejar sesuatu. Terus berlari menuju labor.
Jemarinya mengepal laksana petinju.
’’Otak dan mataku
hilang di sekolah ini!’’ Victoria terus lari menuju labor. Tiba di lapangan
basket, Pak Sabri mencegatnya. Guru itu mencekut kedua urat di bahunya sambil
membaca beberapa ayat suci. Voctoria lemah. Dia terkapar tak sadarkan diri di
laman.
’’Tolong kalian
angkat ke musala,’’ Pak Sabri meminta bantuan kepada tiga siswa lelaki. Dua
puluh menit, Victoria normal. Mukanya kusut bagai rambutnya juga. Badannya
lemas bagai jiwanya juga. Siswa tonges itu tak kuasa bicara. Seluruh tubuhnya
lemoi. Victoria direhatkan di majelis guru. Bu Murni terus memeluknya. Embun di
balik kelopak matanya berjujai jatuh. Mukanya merah.
’’Pikiranmu
jangan kosong. Pikirkan Allah. Hati kita harus berzikir. Baca apa yang bisa.
Jangan lepaskan bibir dari-Nya. Berjiwalah bagai baja,’’ tangan Bu Murni
membelai rambut Victoria. Mulut siswa itu terus mengucap. Bibirnya bersyahadat.
Hatinya mungkin juga. Tujuh belas menit, Victoria mulai kuat.
Sepuluh menit
berselang, dari lantai dua, pekik-pekau bersahutan. Para siswa berhamburan.
Belajar pun bubar. Empat kelas di lantai dua tak tenang. Masing-masing kelas,
satu siswa histeris. Keempat siswa digotong ke musala. Mereka merentang. Teman
mereka terus memaksa ke musala. Siswa kemasukan itu terus berontak. Keempat
siswa itu dibawa menuruni tangga. Pas
jejak di anak tangga terbawah, sekitar sepuluh siswa di lantai dasar histeris
pula. Para guru pontang-panting. Para siswa, juga demikian. Mereka berbuat, apa
yang dapat dibuat. Tak ada mulut yang terkunci. Beberapa siswa yang pintar
meruqiyah, coba berbuat. Para guru, tak mau ketinggalan. Ada yang membaca ayat
suci, apa saja. Ada yang memukul dengan kata-kata. Beberapa siswa yang keselap,
ada yang sudah sadar. Namun, dari kelas lain, ada lagi korbannya. Musala pun
sesak seumpama napas ketika itu.
Sekejap saja,
beberapa orang tua siswa berdatangan. Mereka diperbolehkan membawa pulang
anaknya yang keselap. Sejurus setelah itu, bel pulang didendangkan. Padahal,
hari baru pukul 09.00. Belajar pun gagal. Di beberapa sudut, ada kawanan setan
terkekeh-kekeh. Si tubuh api itu merasa menang. Mereka melonjak-lonjak. Dengan
tubuhnya, mereka telah membakar keyakinan. Semangat juga ikut hangus. Jiwa jadi
legam. Ibadah belajar pun ikut kerontong.
’’Manusia tolol.
Padahal, kita lebih hina daripada mereka,’’ beberapa setan di sudut sekolah
berbual-bual. Tatapan mereka bagai belati karat yang siap menikam hati. Di
sekeliling sekolah, ternyata mereka sangat ramai. Jumlah mereka sama seperti
jumlah penghuni sekolah itu. Mereka tidur di beberapa labor. Sebagiannya,
menghuni kelas.
Di musala.
’’Kalian
mengotori rumah kami,’’ suara itu keluar dari mulut Leni, siswa yang masih
belum siuman. Tapi, bukan suara Leni. Ijal dan Asri, dua siswa yang pandai
meruqiyah, terus saja berupaya. Pak Sabri dan beberapa guru yang peduli ikut
mendampingi mereka. Lebih pukul 12.00, barulah tuntas semuanya. Pak Sabri,
beberapa guru, dan beberapa siswa tampak letih. Mereka seperti telah kehilangan
ribuan kalori. Di atas, langit mendung. Semakin tebal, semakin legam. Dari
laut, angin turun begitu kencang.
***
Sekolah itu pun
ibarat sekolah walet. Di sekelilingnya, penuh rumah bertingkat. Isinya adalah
walet dan para setan. Pemiliknya juga setan. Umumnya, bangunan bertingkat itu
adalah rumah walet. Setiap hari sejak pukul 07.00, suara elektronik walet,
mematahkan kecerdasan. Diskusi siswa ditelan suara itu. Ceramah guru kalah
kuat. Beberapa kali, gangguan ini diekspose di koran. Tapi, suara elektronik
walet tetap membingitkan. Perda walet jadi mubazir. Para pejabat berwewenang,
tak pernah bertindak. Setiap hari, di sekolah itu, seperti hanya ada walet dan
para setan. Mereka beterbangan melintasi dan menghisap jiwa. Jiwa jadi kering.
Retak.
Sebelum ini,
sudah beberapa hari para siswa keselap. Sudah pula diupayakan orang pintar
untuk mengobatinya. Dari adat mematikan tanah, hingga tahlil, zikir, dan
pembacaan Yassin. Kepercayaan-kepercayaan Tionghoa pun pernah membela sekolah
ini. Ternyata, tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, teror para setan itu
kembali mengusik. Semakin parah, kian kacau-balau.
Pukul 08.00,
pokok hari gelap. Hasil kesepakatan guru beberapa hari lalu, dilaksanakan
ruqiyah massal di laman sekolah. Ustad Jamil, Ustad Aman, dan beberapa temannya
memulai dengan ceramah. Para siswa, duduk
di laman. Sebagiannya, duduk di kaki lima. Para guru, berjejer di kaki
lima, berhadapan dengan siswa. Pokok hari makin pekat. Sebelum pembacaan
ayat-ayat ruqiyah dimulai, beberapa siswa ketakutan. Ada yang duduk mendekati
guru. Ketika pembacaan ruqiyah baru sepuluh menit, satu per satu siswa
menjerit. Mereka meronta. Dari seorang siswa, bersambut ke siswa lainnya. Para
guru pun ikut mengamankan suasana. Hujan renyai pagi itu tak menghalangi. Niat
untuk nyaman belajar terus membaja. Ruqiyah terus berjalan. Selama itu pula,
siswa-siswa memekau bergantian. Setelah berjalan 20 menit, hujan cukup deras
membubarkan semuanya. Di musala, puluhan siswa diruqiyah semula.
Musala sesak.
Siswa yang keselap, bergelimpangan. Mereka meracau. Ada yang hafiz Alquran. Ada
siswa non-Tionghoa yang fasih berbahasa Cina. Ada pula yang bernyanyi dangdut.
Beberapa siswa, merentang. Ada juga yang terus bergerak. Beberapa wartawan
sempat mengabadikan dalam kameranya. Ini tentu berita hangat bagi mereka.
Penanganan ruqiyah itu berjalan hingga pukul 12.00. Di sudut musala, beberapa
wartawan mewawancarai Ustad Aman.
’’Makhluk apa
sebenarnya yang mengganggu siswa ini?’’ tanya Taufik. Wartawan itu menyodorkan
rekamannya.
’’Setan. Ini
adalah gangguan setan. Mereka punya misi membodohkan kita. Juga mencelakakan
kita. Itu ’kan sudah janji mereka dengan Allah taala,’’ Ustad Aman memaparkan.
’’Setan saja?’’
pertanyaan konyol dari Seto, wartawan yang lainnya.
’’Ya. Setan cinta
dan setan lainnya. Setan cinta agak payah. Mereka mencintai siswa yang
dirasuki. Kebetulan semua siswa putri. Mereka sulit untuk dipisahkan jika sudah
jatuh cinta. Semoga dengan ruqiyah ini, Allah memperkenankan upaya kita,’’
wajah ustad itu tampak lesu sekali.
’’Apa ada
jaminan?’’
’’Jaminan apa?’’
’’Jaminan mereka
tak meneror lagi.’’
’’Tidak ada
jaminan begitu. Maksiat bisa mengundang mereka. Mereka memang bertugas
menyesatkan kita. Itu sampai kiamat.’’
Hari itu, belajar
juga gagal. Beberapa orang tua, protes. Ada yang tak setuju. Sayangnya, mereka
hanya tahu protes. Mereka pun tak mampu mencari jalan terbaik. Muka para guru
dituding.
’’Elok anak saya tak
sekolah, Pak. Kasihan dia tersiksa,’’ seorang ayah yang mengaku menyayangi
Leni, anaknya.
’’Kalau gitu,
kita kalah, Pak,’’ Pak Sabri membalas. ’’Ke mana Bapak campakkan kasih sayang
kepada anak Bapak?’’
’’Tapi, saya tak
sampai hati melihat dia begini terus,’’ tangkis orang tua itu lagi.
’’Kita harus
terus melawan. Harus bisa melawan. Mereka adalah musuh kita yang nyata,’’ Pak
Sabri mencoba memberi pengertian. Orang tua itu diam. Dia pergi diam-diam. Leni
diangkut pakai becak. Badannya terkulai. Kepalanya telentok.
***
’’Ini adalah
gambaran dosa kita,’’ Pak Sabri tercocol di depan semua. Beberapa guru, ada
yang menggerutu karena tak setuju dengan Pak Sabri. Untuk mengakui suatu
kesalahan, memang perlu perjuangan. Perjuangannya lebih berat daripada menghamburkan
beribu kebaikan, lebih berat daripada melawan setan. Dari lantai 2, Pak Sabri
terus memandang lingkungan sekolah. Matanya menatap labor, menatap wc, rumah-rumah walet, kelas. ’’Dasar setan.
Mereka ada di mana-mana,’’ pikiran Pak Sabri bercelaru. Mata hatinya merasakan
setan-setan bergentayangan di sekolah itu. Sepanjang perjalanan pulang dengan
sepeda motor tuanya, Pak Sabri masih sedih. Di sekolah itu, terlalu banyak jiwa
yang kering.
Seminggu
kemudian, para setan kembali menyerang. Mereka menelan otak, mata, telinga, dan
mulut sekolah itu. Dasar setan!***
No comments:
Post a Comment