Cerpen : Kunang-Kunang Itu Aku
Menjadi
kunang-kunang bukan pilihan yang gampang. Aku harus rela bergumul dengan kelam
sepanjang malam. Tak kenal petang, apalagi siang. Aku siap menghadang ribuan
jahanam di gulita yang menghujam.
Bunyi tapak kaki saling buru dan melaju terdengar riuh
mendudu. Gerombolan suku itu terdengar semakin mendekat. Aku hanya bisa
mengintip dari balik jendela yang berlubang. Jerambah papan mengeluarkan suara
yang bersahutan. Diiringi pekik sorak mereka, laki-laki maupun perempuan,
bahkan anak-anak. Tiap sepertiga malam menjelang, gerombolan itu terdengar
menyusuri kampung menuju pantai.
Setelah suara-suara riuh itu menjauh, aku menangkap suara senandung yang tidak bisa dikatakan merdu. Penasaran. Kusipitkan kedua mata, agar bisa melihat sumber suara dengan lebih jelas. Orang seperti bayang terlihat semakin dekat. Suaranya pun semakin jelas. Arah pandangku mengikuti langkahnya, menjauh. Menuju pantai, seolah membututi rombongan. Telah menjadi kegiatan rutinku tiap malam mengintip gerombolan itu, setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman.
Malam itu, lagi-lagi aku terjaga. Namun, aku tidak mendengar senandungnya. Ada apa gerangan?
***
Setelah suara-suara riuh itu menjauh, aku menangkap suara senandung yang tidak bisa dikatakan merdu. Penasaran. Kusipitkan kedua mata, agar bisa melihat sumber suara dengan lebih jelas. Orang seperti bayang terlihat semakin dekat. Suaranya pun semakin jelas. Arah pandangku mengikuti langkahnya, menjauh. Menuju pantai, seolah membututi rombongan. Telah menjadi kegiatan rutinku tiap malam mengintip gerombolan itu, setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman.
Malam itu, lagi-lagi aku terjaga. Namun, aku tidak mendengar senandungnya. Ada apa gerangan?
***
sumber:
http://riaupos.co/1717-spesial-kunang-kunang-itu-aku.html
No comments:
Post a Comment