Wednesday, September 5, 2018

Pengertian al'ariyah (pinjaman) menurut islam



Pengertian al'ariyah (pinjaman) menurut islam

B Y :
MIRA GUSTINA, S.Pd.i
BENGKALIS
RIAU

AL ‘ARIYAH ( PINJAMAN )
    A.    Pengertian ‘Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
   1.      Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah:
“memilikkan manfaat secara Cuma-Cuma”
2.      Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah:
“memilikkan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
READ MORE...........
3.      Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah ialah:
“kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang myungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4.      Menurut Hanabilh, ‘ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5.      Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “ariyah ialah:
“kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
6.      Menurut al-mawardi, yang dimaksud dengan “ariyah ialah:
“memberikan manfaat-manfaat.“
Dari definisi yang dikemukakanoleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya para ulama tersebut berpendapat hampir sama, bahwa ‘ariyah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus dikembalikan kepada pemiliknya.

B.     Dasar Hukum ‘Ariyah
Ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah, sedangkan menurut al-Ruyani, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Adapun landasan hukumnya dari nash Alqur’an dalam Surat Al-Maidah ayat: 2 yang artinya:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berta siksa-Nya.”
Disamping Al qur’an, dasar hukum ‘ariyah juga terdapat dalam sunnah Rasulallah SAW, antara lain:
Hadis Shafwan bin Umayyah: “dari Shafwan bin Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya pada saat perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata Shafwan: “Apakah anda merampas hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan, melainkan pinjaman yang ditanggungkan,” Berkata Shafwan: “sebagian dari baju perang tersebut hilang,” maka Nabi menyodorkan kepadanya untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih senang kepada islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

C.    Rukun Dan Syarat-Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.      Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
Ø  Baligh,  maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabily;
Ø  Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
Ø  Orang tersebut tida dimajhur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3.      Benda yang diutangkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Ø  Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materi nya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimnapn padi.
Ø  Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang/benda yang dipinjamkan.

D.    Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Sebagaimana sabda Rasulallah SAW: “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya (riwayat Bukhari dan muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulallah bersabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (Riwayat bukhari dan muslim)
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulallh bersabda: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (dikeluarkan oleh Baihaqi)

E.     Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jka barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.

F.     Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Ahurairah, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya.”

G.    Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai, sopan-santun yang terkait didalamnya, ialah sebagai berikut:
Ø  Sesuai dengan QS Al Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
Ø  Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
Ø  Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
Ø  Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zina.

No comments:

Post a Comment

Kumpulan Sajak-sajak Willy Ana