Pengertian al'ariyah (pinjaman) menurut islam
B Y :
MIRA GUSTINA, S.Pd.i
BENGKALIS
RIAU
AL ‘ARIYAH (
PINJAMAN )
A. Pengertian ‘Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah
menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1.
Menurut
Hanafiyah, ‘ariyah ialah:
“memilikkan manfaat secara Cuma-Cuma”
2.
Menurut
Malikiyah, ‘ariyah ialah:
3.
Menurut
Syafi’iyah, ‘ariyah ialah:
“kebolehan mengambil manfaat dari
seseorang yang membebaskannya, apa yang myungkin untuk dimanfaatkan, serta
tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4.
Menurut
Hanabilh, ‘ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat
barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5.
Ibnu Rif’ah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “ariyah
ialah:
“kebolehan mengambil manfaat suatu
barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
6.
Menurut
al-mawardi, yang dimaksud dengan “ariyah
ialah:
“memberikan manfaat-manfaat.“
Dari
definisi yang dikemukakanoleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami bahwa
pada dasarnya para ulama tersebut berpendapat hampir sama, bahwa ‘ariyah adalah
suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang diterimanya dari orang lain tanpa
imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
B.
Dasar Hukum ‘Ariyah
‘Ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah)
dan dianjurkan berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah, sedangkan menurut
al-Ruyani, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Adapun landasan hukumnya dari nash
Alqur’an dalam Surat Al-Maidah ayat: 2 yang artinya:
“Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat berta siksa-Nya.”
Disamping Al qur’an, dasar hukum ‘ariyah juga
terdapat dalam sunnah Rasulallah SAW, antara lain:
Hadis
Shafwan bin Umayyah: “dari Shafwan bin
Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya pada saat perang Hunain beberapa baju
perang, maka berkata Shafwan: “Apakah anda merampas hai Muhammad?” Nabi
bersabda: “Bukan, melainkan pinjaman yang ditanggungkan,” Berkata Shafwan:
“sebagian dari baju perang tersebut hilang,” maka Nabi menyodorkan kepadanya
untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih senang
kepada islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
C.
Rukun Dan Syarat-Syarat ‘Ariyah
Menurut
Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu,
yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan
pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan
ucapan.
Menurut Syafi’ah,
rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Kalimat
mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.
Mu’ir yaitu orang
yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir
yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
Ø Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabily;
Ø Berakal,
maka batal ‘ariyah yang dilakukan
oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
Ø Orang
tersebut tida dimajhur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang
dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3.
Benda yang
diutangkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Ø Materi yang
dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materi nya tidak dapat digunakan, seperti meminjam
karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimnapn padi.
Ø Pemanfaatan
itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah
yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti meminjam
benda-benda najis.
Syarat-syarat
‘ariyah berkaitan dengan rukun yang
telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam,
barang/benda yang dipinjamkan.
D.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang
yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada
yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Sebagaimana sabda
Rasulallah SAW: “Orang kaya yang
melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya (riwayat Bukhari dan
muslim)
Melebihkan
bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang
membayar utang. Rasulallah bersabda: “sesungguhnya
diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam
membayar utang”. (Riwayat bukhari dan muslim)
Jika
penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi
perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasulallh bersabda: “Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.”
(dikeluarkan oleh Baihaqi)
E.
Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya
Abu Hanifah
dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman
kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya
untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut
Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja
yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jka barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
F.
Tanggung Jawab Peminjam
Bila
peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak,
ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun
karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Ahurairah,
Syafi’i, dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw.
Bersabda: “pemegang berkewajiban menjaga
apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya.”
G.
Tatakrama Berutang
Ada beberapa
hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang
nilai-nilai, sopan-santun yang terkait didalamnya, ialah sebagai berikut:
Ø Sesuai dengan
QS Al Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak
berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi
dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat diatas
kertas bersegel atau bermaterai.
Ø Pinjaman
hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
Ø Pihak
berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila
yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya
membebaskannya.
Ø Pihak yang
berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran
utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zina.
No comments:
Post a Comment