Dalam Keterasingan yang Panjang
Cerpen: Musa Ismail (Sumber: Riau Pos, Edisi 09/17/2006)
PULAU Dedap
tampak sendu. Duka seorang ibu berlabuh di sini. Pulau ini merupakan salah satu
bukti pendurhakaan seorang anak. Menurut kisah yang kudengar, pendurhakaan si
Dedap dalam kisah ini persis dengan perndurhakaan si Malin Kundang. Seorang
anak yang sudah kaya-raya tidak mengakui orangtuanya. Kekayaan yang tidak mau
bersahabat dengan kemiskinan. Laksana kacang lupa akan kulitnya. Pepohonan
bakau dan api-api yang tumbuh subur di pulau itu menyelimuti sebagian besar
tubuhnya yang kelihatan mungil. Berbagai misteri tersimpan di sana: tentang
makhluk bunian, penunggu, sauh kapal si Dedap, juga hubungan kelam antara Pulau
Dedap dan Pulau Padang. Di pulau duka ini, hanya ada satu pandangan; jangan
bercakap cabo.
‘’Dulu,
perusahaan minyak Hudbay pernah survei di sini. Mereka adalah orang-orang
asing. Kata mereka, di pulau ini ada sumber minyak yang jumlahnya cukup besar.
Pengeboran dilakukan, tapi tidak berhasil karena pipa-pipa yang dimasukkan ke
bumi menjadi riuk. Dari udara dengan menggunakan helikopter, kata mereka, ini
bukan pulau. Namun, sebuah kota yang besar dan modern,’’ Bahri begitu
bersemangat menjelaskan kepadaku. Ketika itu, aku berada di persimpangan,
antara kenyataan dan mitos-mitos belaka.
‘’Tapi,
orang-orang seperti Abang, tidak mudah empercayainya,’’ lanjut Bahri.
‘’Lalu, warga
di sini bagaimana?’’ aku bertanya.
‘’Kami masih
sangat percaya. Ya, hingga sekarang kami percaya hal-hal gaib seperti itu.’’
Mitos-mitos
berlari menggelinjang di perkampungan sekitar selat yang sedang aku lalui itu.
Setajam elang, mata mitos-mitos itu terus mengawasi setiap warga yang bernapas.
Juga napasku.
Meskipun
Hudbay gagal ketika itu, sekarang mesin dan pompa-pompa penghisap minyak sudah
banyak terpacak di badan pulau-pulau yang berjejer di situ. Setiap hari tanpa
henti, mesin dan pipa-pipa terus menghisap aliran darah bumi ibarat
nyamuk-nyamuk yang menyedot darah warga yang bermukim di pulau bertuah.
Meskipun tidak dirasakan, sebenarnya kehidupan di situ sudah sejak lama
meranggas seperti pohon di musim gugur. Bumi-bumi bertuah Sakai dan Akit ini
telah bersepai, tak bermaya, ibarat perempuan yang diserang bengek. Teteknya
pun sudah lenyot.
Batu-batu
jadi layu. Ketam-ketam menangis. Siput-siput bersedih. Ikan-ikan menjauh.
Tembakul dan senasak enggan bermain di lumpur. Bakau dan api-api hanya bisu,
sebab kehidupan mereka hanya dalam mimpi-mimpi buruk yang tak berakhir. Para
nelayan hanya bersenandung dalam duka, sebab rindu pada laut dan teluk ibarat
pungguk merindukan bulan. Para pengerih dan perawai terasa gerah karena tak
larat dihenyak jaring batu dan pukat rimau.
POMPONG milik
Bang Bahri yang kusewa terus merangkak maju di celah-celah Selat Bengkalis.
Suara mesinnya menyenggau bak ribut, tapi larinya ibarat siput gayah. Karena
itu, mungkin ketika bercakap denganku, suara Bahri selalu keras walaupun dalam
keadaan tanpa gangguan bising.
‘’Orang laut
tak ubahnya dengan orang gunung,’’ pikirku,’’bicara mereka selalu meledak-ledak.
Walau berjarak dekat, tetap saja memekik jika bercakap.’’
Dalam
perjalanan, pikiranku menembus air, menembus selat, menembus cahaya, menembus
pulau, dan menembus kelebat kenangan. Suara kericik air yang pecah di haluan
pompong terdengar samar-samar. Beberapa ekor lumba-lumba meluncur laju pas di
samping lambung pompong. Yang harus kulakukan setelah sampai di Selat Ako
nantinya adalah menjumpai Kades. Beliau inilah yang akan mengantarkan aku ke
Desa Pereban.
Pompong yang
kutumpangi, yang tadinya beringsut, kini agak sedikit laju karena buritannya
disondol oleh gelombang pasang sehingga cepat menuju mulut Selat Ako. Dari
sinilah, kulihat barisan pemukiman tradisional masyarakat. Semuanya ada di
sini. Bubu, pengerih, jaring, jala, sampan, pompong, perahu, tongkang, dan
airut berlabuh. Rumah-rumah warga Tionghoa banyak sekali di tepi selat itu.
Memang begitulah! Warga Tionghoa sangat suka berumah di pinggiran perairan
karena bisa mempermudah berbagai urusan bisnis, terutama dalam hal bongkar muat
barang dagangan.
Tual-tual
kayu pun menghiasi selat yang lebarnya sekitar lima-puluh meter itu.
’’Kayu-kayu
ini siapa punya, Bang?’’ tanyaku.
’’Pemiliknya
banyak. Kayu-kayu ini akan dibawa ke Malaysia,’’ Bang Bahri menjelaskan.
’’Ke
Malaysia?’’
’’Ya.’’
’’Tapi,
mungkin ilegal, ya, Bang?’’
’’Ilegal? Apa
itu?’’
’’Tidak
resmi.’’
’’O, kalau
itu, saya kurang pasti. Yang jelas, setiap kayu-kayu ini akan diberangkatkan ke
Malaysia, ada beberapa kapal aparat yang mengawasi dan memandunya sampai ke
perbatasan.’’ Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda keluhan dan
lenguhan.
Semakin ke
dalam kami memasuki selat, kulihat hutan-hutan sudah meranggas dibabat. Tak
kutemukan lagi kehijauan asli di sini. Yang tinggal, hanya semak-semak dan
tanaman kayu muda yang entah berapa puluh tahun lagi akan menjadi hutan
kembali. Atau, tidak akan sempat menjadi hutan. Bakau-bakau begitu juga. Sudah
sulit mencarinya. Konon, kayu-kayu mangrove ini juga diselundupkan ke negeri
jiran untuk bahan cerocok bangunan. Aku berpikir, apakah keturunanku nanti akan
menyaksikan hutan-hutan kembali menghijau. Aku sungguh sangsi akan hal itu.
Kesangsianku itu laksana kesangsian terhadap mitos-mitos yang selama ini
mendera mereka.
Kami terus
melaju dalam keheningan. Sengatan bola panas terasa sudah agak reda karena
awan-awan hitam menyelimuti sebagian wilayah selat. Sekitar setengah jam aku
dan Bang Bahri hanya diam sambil mengamati sekitar selat.
’’Kalau boleh
tahu, tujuan Abang ke mari untuk apa?’’ Bang Bahri tiba-tiba memecah kebisuan
kami. Beliau juga menyapaku dengan panggilan Abang. Biasalah, untuk
menghormati.
Aku terdiam,
agak bingung juga mau menjawabnya.
’’Mencari
seseorang.’’
’’Seseorang?’’
Bang Bahri agak heran sambil mengernyitkan keningnya. ’’Siapa?’’ sambungnya
bertanya.
’’Keluarga.’’
’’Punya
keluarga di sini?’’
’’Ya. Emak
dan Abah.’’
Bang Bahri
tampak terberah.
Lalu, aku
terkenang ayah dan ibu angkat di Jakarta. Merekalah yang menjelaskan tentang
siapa aku yang sebenarnya. Kedua orang tua angkatku itulah yang menyuruhku
kembali ke sini untuk bertemu dengan orangtua kandung sejati. Mereka berharap,
aku bisa membawa emak dan abah hijrah ke Jakarta, berkumpul satu keluarga, dan
sambil bersama-sama menghitung waktu senja di ibu kota. Aku sendiri tentu
sangat senang jika emak dan abah mau. Tentu sangat gembira memiliki dua pasang
orangtua dalam satu rumah. Kasih sayang yang aku dapatkan tentu melebihi
daripada orang lain.
’’Tapi, aku
belum pernah melihat wajah mereka. Hanya foto ini yang akan menjadi bukti,’’
foto itu aku tunjukkan kepada Bang Bahri. Lama juga tatapannya tercenung pada
foto orang tua kandungku itu.
’’Apakah
Abang mengenal mereka?’’
Dengan
keraguan, Bang Bahri menggelengkan kepala.
***
POMPONG sudah
merapat di pelantar milik salah seorang warga. Aku menuju rumah Kades tanpa
Bang Bahri. Setelah menaikkan aku di pelantar bergoyang itu, beliau langsung
menghidupkan mesin pompong dan kembali ke pangkuan keluarganya. Berkat ringan
mulut untuk bertanya, kediaman Kades kutemukan dengan mudah. Hampir semua mata
menatap kehadiranku seolah-olah aku adalah orang asing yang baru masuk ke
wilayah mereka. Tempat, jarak, dan waktu telah mengubah keadaanku menjadi
seperti ini. Akibatnya, pandangan yang melirikku penuh dengan keterasingan yang
menyiksa. Aku menjadi kikuk dan tak tahu harus berbuat apa. Untung saja Kades
seorang yang bijaksana dan lebih berpengalaman.
Malam itu,
aku mengisahkan tentang diriku. Harapanku ke desa ini pun kusampaikan dengan
terperinci.
’’Bagaimana
caranya saya bisa ke Desa Pereban, Pak?’’
Pak Kades
diam. Tiba-tiba, dia bicara.
’’Itulah
persoalannya.’’
’’Persoalan
apa?’’
’’Desa itu
sudah tidak ada. Sudah tenggelam oleh minyak.’’
Aku langsung
terbayang desa-desa di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tenggelam oleh lumpur panas.
Tapi, juga gara-gara minyak yang membawa dolar-dolar dalam barel.
’’Berarti,
emak dan abah saya….’’ suaraku tersekat. Parau.
’’Jangan
diteruskan. Hingga kini, seorang pun tidak tahu nasib mereka. Kabarnya, minyak
yang menyembur dari perut bumi itu bercampur dengan berbagai serpihan kotoran
yang tak tahu entah kotoran apa. Kotoran-kotoran itulah yang melemaskan seluruh
warga Desa Pereban.’’
’’Itu pasti
kotoranku,’’ hatiku menyahut.
Aku menangis.
Menyesal tak bertepi. Harapanku seperti dipenggal kekosongan dan laksana
disayat oleh keserakahanku sendiri. Perasaan berdosa menusuk-nusuk jalan darah
di sekujur tubuhku. Hati ini bersepai bak dihempak dengan batu besar. Pikiranku
ketika itu kosong dan alih-alih keselap. Aku telah berada di dunia lain.
Tubuhku kejang-kejang bak sakit sawan babi. Mataku membelalak bagai mata petai.
Dalam ketidaksadaran itu, tenagaku meningkat puluhan kali lipat, meronta-ronta,
dan mengibas-ngibas. Tentu saja keluarga Pak Kades jadi cemas. Bahkan, bukan
hanya keluarga Pak Kades, tetapi seluruh penduduk kampung itu.
Malam itu
juga, aku digotong ramai-ramai ke sebuah rumah besar. Di sana, seseorang telah
menunggu. Dia seorang dukun, orang asli. Aku diobati dengan cara pengobatan
tradisional. Suasananya sungguh mencekam. Ada pesona kekuatan gaib yang
mahadahsyat pada malam itu. Aku merasakan kehadiran iblis, malaikat, tuhan, dan
roh-roh berbagai makhluk. Semua kekuatan itu bertembung dalam kibasan mayang
dukun. Beratus larik mantera beterbangan dari mulutnya. Namun, waktu sudah
berjalan selama lima jam, aku tak kunjung siuman. Orang-orang semua memandangku
dalam keanehan yang luar biasa. Mereka berkata bahwa aku telah dirasuk oleh
roh-roh warga Desa Pereban yang tenggelam oleh barel minyak dalam dolar.
Roh-roh itu menuntut balas terhadap apa yang telah kulakukan pada mereka.
’’Ini gara-gara
keserakahanmu, Anakku?’’ suara berat meluncur dari mulutku, tapi bukan suaraku.
Aku tentu kenal dengan suaraku sendiri.
’’Siapa
dirimu, hai suara yang parau?’’ dukun bertanya.
’’Aku adalah
emak dan abah pemuda asing ini.’’
’’Pemuda
asing? Bukankah dia anakmu?’’
’’Meskipun anak kandungku, tapi dia telah berkhianat dengan alamnya, dengan kehidupannya, dan dengan Tuhan.’’
’’Meskipun anak kandungku, tapi dia telah berkhianat dengan alamnya, dengan kehidupannya, dan dengan Tuhan.’’
Berbagai
upaya dilakukan dukun untuk mengeluarkan roh-roh itu dari jasatku, tapi belum
mampu. Mayang sudah meranggas. Mantera sudah habis. Namun, aku masih terus
terkapar dalam malam hitam gelap yang panjang. Aku tak tahu kapan akan sadar
dari semua ini.***
No comments:
Post a Comment