Wednesday, November 7, 2018

Dalam Keterasingan yang Panjang Cerpen: Musa Ismail


Dalam Keterasingan yang Panjang 

Cerpen: Musa Ismail (Sumber: Riau Pos, Edisi 09/17/2006)

PULAU Dedap tampak sendu. Duka seorang ibu berlabuh di sini. Pulau ini merupakan salah satu bukti pendurhakaan seorang anak. Menurut kisah yang kudengar, pendurhakaan si Dedap dalam kisah ini persis dengan perndurhakaan si Malin Kundang. Seorang anak yang sudah kaya-raya tidak mengakui orangtuanya. Kekayaan yang tidak mau bersahabat dengan kemiskinan. Laksana kacang lupa akan kulitnya. Pepohonan bakau dan api-api yang tumbuh subur di pulau itu menyelimuti sebagian besar tubuhnya yang kelihatan mungil. Berbagai misteri tersimpan di sana: tentang makhluk bunian, penunggu, sauh kapal si Dedap, juga hubungan kelam antara Pulau Dedap dan Pulau Padang. Di pulau duka ini, hanya ada satu pandangan; jangan bercakap cabo.
‘’Dulu, perusahaan minyak Hudbay pernah survei di sini. Mereka adalah orang-orang asing. Kata mereka, di pulau ini ada sumber minyak yang jumlahnya cukup besar. Pengeboran dilakukan, tapi tidak berhasil karena pipa-pipa yang dimasukkan ke bumi menjadi riuk. Dari udara dengan menggunakan helikopter, kata mereka, ini bukan pulau. Namun, sebuah kota yang besar dan modern,’’ Bahri begitu bersemangat menjelaskan kepadaku. Ketika itu, aku berada di persimpangan, antara kenyataan dan mitos-mitos belaka.
‘’Tapi, orang-orang seperti Abang, tidak mudah empercayainya,’’ lanjut Bahri.
‘’Lalu, warga di sini bagaimana?’’ aku bertanya.
‘’Kami masih sangat percaya. Ya, hingga sekarang kami percaya hal-hal gaib seperti itu.’’
Mitos-mitos berlari menggelinjang di perkampungan sekitar selat yang sedang aku lalui itu. Setajam elang, mata mitos-mitos itu terus mengawasi setiap warga yang bernapas. Juga napasku.
Meskipun Hudbay gagal ketika itu, sekarang mesin dan pompa-pompa penghisap minyak sudah banyak terpacak di badan pulau-pulau yang berjejer di situ. Setiap hari tanpa henti, mesin dan pipa-pipa terus menghisap aliran darah bumi ibarat nyamuk-nyamuk yang menyedot darah warga yang bermukim di pulau bertuah. Meskipun tidak dirasakan, sebenarnya kehidupan di situ sudah sejak lama meranggas seperti pohon di musim gugur. Bumi-bumi bertuah Sakai dan Akit ini telah bersepai, tak bermaya, ibarat perempuan yang diserang bengek. Teteknya pun sudah lenyot.
Batu-batu jadi layu. Ketam-ketam menangis. Siput-siput bersedih. Ikan-ikan menjauh. Tembakul dan senasak enggan bermain di lumpur. Bakau dan api-api hanya bisu, sebab kehidupan mereka hanya dalam mimpi-mimpi buruk yang tak berakhir. Para nelayan hanya bersenandung dalam duka, sebab rindu pada laut dan teluk ibarat pungguk merindukan bulan. Para pengerih dan perawai terasa gerah karena tak larat dihenyak jaring batu dan pukat rimau.
POMPONG milik Bang Bahri yang kusewa terus merangkak maju di celah-celah Selat Bengkalis. Suara mesinnya menyenggau bak ribut, tapi larinya ibarat siput gayah. Karena itu, mungkin ketika bercakap denganku, suara Bahri selalu keras walaupun dalam keadaan tanpa gangguan bising.
‘’Orang laut tak ubahnya dengan orang gunung,’’ pikirku,’’bicara mereka selalu meledak-ledak. Walau berjarak dekat, tetap saja memekik jika bercakap.’’
Dalam perjalanan, pikiranku menembus air, menembus selat, menembus cahaya, menembus pulau, dan menembus kelebat kenangan. Suara kericik air yang pecah di haluan pompong terdengar samar-samar. Beberapa ekor lumba-lumba meluncur laju pas di samping lambung pompong. Yang harus kulakukan setelah sampai di Selat Ako nantinya adalah menjumpai Kades. Beliau inilah yang akan mengantarkan aku ke Desa Pereban.
Pompong yang kutumpangi, yang tadinya beringsut, kini agak sedikit laju karena buritannya disondol oleh gelombang pasang sehingga cepat menuju mulut Selat Ako. Dari sinilah, kulihat barisan pemukiman tradisional masyarakat. Semuanya ada di sini. Bubu, pengerih, jaring, jala, sampan, pompong, perahu, tongkang, dan airut berlabuh. Rumah-rumah warga Tionghoa banyak sekali di tepi selat itu. Memang begitulah! Warga Tionghoa sangat suka berumah di pinggiran perairan karena bisa mempermudah berbagai urusan bisnis, terutama dalam hal bongkar muat barang dagangan.
Tual-tual kayu pun menghiasi selat yang lebarnya sekitar lima-puluh meter itu.
’’Kayu-kayu ini siapa punya, Bang?’’ tanyaku.
’’Pemiliknya banyak. Kayu-kayu ini akan dibawa ke Malaysia,’’ Bang Bahri menjelaskan.
’’Ke Malaysia?’’
’’Ya.’’
’’Tapi, mungkin ilegal, ya, Bang?’’
’’Ilegal? Apa itu?’’
’’Tidak resmi.’’
’’O, kalau itu, saya kurang pasti. Yang jelas, setiap kayu-kayu ini akan diberangkatkan ke Malaysia, ada beberapa kapal aparat yang mengawasi dan memandunya sampai ke perbatasan.’’ Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda keluhan dan lenguhan.
Semakin ke dalam kami memasuki selat, kulihat hutan-hutan sudah meranggas dibabat. Tak kutemukan lagi kehijauan asli di sini. Yang tinggal, hanya semak-semak dan tanaman kayu muda yang entah berapa puluh tahun lagi akan menjadi hutan kembali. Atau, tidak akan sempat menjadi hutan. Bakau-bakau begitu juga. Sudah sulit mencarinya. Konon, kayu-kayu mangrove ini juga diselundupkan ke negeri jiran untuk bahan cerocok bangunan. Aku berpikir, apakah keturunanku nanti akan menyaksikan hutan-hutan kembali menghijau. Aku sungguh sangsi akan hal itu. Kesangsianku itu laksana kesangsian terhadap mitos-mitos yang selama ini mendera mereka.
Kami terus melaju dalam keheningan. Sengatan bola panas terasa sudah agak reda karena awan-awan hitam menyelimuti sebagian wilayah selat. Sekitar setengah jam aku dan Bang Bahri hanya diam sambil mengamati sekitar selat.
’’Kalau boleh tahu, tujuan Abang ke mari untuk apa?’’ Bang Bahri tiba-tiba memecah kebisuan kami. Beliau juga menyapaku dengan panggilan Abang. Biasalah, untuk menghormati.
Aku terdiam, agak bingung juga mau menjawabnya.
’’Mencari seseorang.’’
’’Seseorang?’’ Bang Bahri agak heran sambil mengernyitkan keningnya. ’’Siapa?’’ sambungnya bertanya.
’’Keluarga.’’
’’Punya keluarga di sini?’’
’’Ya. Emak dan Abah.’’
Bang Bahri tampak terberah.
Lalu, aku terkenang ayah dan ibu angkat di Jakarta. Merekalah yang menjelaskan tentang siapa aku yang sebenarnya. Kedua orang tua angkatku itulah yang menyuruhku kembali ke sini untuk bertemu dengan orangtua kandung sejati. Mereka berharap, aku bisa membawa emak dan abah hijrah ke Jakarta, berkumpul satu keluarga, dan sambil bersama-sama menghitung waktu senja di ibu kota. Aku sendiri tentu sangat senang jika emak dan abah mau. Tentu sangat gembira memiliki dua pasang orangtua dalam satu rumah. Kasih sayang yang aku dapatkan tentu melebihi daripada orang lain.
’’Tapi, aku belum pernah melihat wajah mereka. Hanya foto ini yang akan menjadi bukti,’’ foto itu aku tunjukkan kepada Bang Bahri. Lama juga tatapannya tercenung pada foto orang tua kandungku itu.
’’Apakah Abang mengenal mereka?’’
Dengan keraguan, Bang Bahri menggelengkan kepala.
***
POMPONG sudah merapat di pelantar milik salah seorang warga. Aku menuju rumah Kades tanpa Bang Bahri. Setelah menaikkan aku di pelantar bergoyang itu, beliau langsung menghidupkan mesin pompong dan kembali ke pangkuan keluarganya. Berkat ringan mulut untuk bertanya, kediaman Kades kutemukan dengan mudah. Hampir semua mata menatap kehadiranku seolah-olah aku adalah orang asing yang baru masuk ke wilayah mereka. Tempat, jarak, dan waktu telah mengubah keadaanku menjadi seperti ini. Akibatnya, pandangan yang melirikku penuh dengan keterasingan yang menyiksa. Aku menjadi kikuk dan tak tahu harus berbuat apa. Untung saja Kades seorang yang bijaksana dan lebih berpengalaman.
Malam itu, aku mengisahkan tentang diriku. Harapanku ke desa ini pun kusampaikan dengan terperinci.
’’Bagaimana caranya saya bisa ke Desa Pereban, Pak?’’
Pak Kades diam. Tiba-tiba, dia bicara.
’’Itulah persoalannya.’’
’’Persoalan apa?’’
’’Desa itu sudah tidak ada. Sudah tenggelam oleh minyak.’’
Aku langsung terbayang desa-desa di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tenggelam oleh lumpur panas. Tapi, juga gara-gara minyak yang membawa dolar-dolar dalam barel.
’’Berarti, emak dan abah saya….’’ suaraku tersekat. Parau.
’’Jangan diteruskan. Hingga kini, seorang pun tidak tahu nasib mereka. Kabarnya, minyak yang menyembur dari perut bumi itu bercampur dengan berbagai serpihan kotoran yang tak tahu entah kotoran apa. Kotoran-kotoran itulah yang melemaskan seluruh warga Desa Pereban.’’
’’Itu pasti kotoranku,’’ hatiku menyahut.
Aku menangis. Menyesal tak bertepi. Harapanku seperti dipenggal kekosongan dan laksana disayat oleh keserakahanku sendiri. Perasaan berdosa menusuk-nusuk jalan darah di sekujur tubuhku. Hati ini bersepai bak dihempak dengan batu besar. Pikiranku ketika itu kosong dan alih-alih keselap. Aku telah berada di dunia lain. Tubuhku kejang-kejang bak sakit sawan babi. Mataku membelalak bagai mata petai. Dalam ketidaksadaran itu, tenagaku meningkat puluhan kali lipat, meronta-ronta, dan mengibas-ngibas. Tentu saja keluarga Pak Kades jadi cemas. Bahkan, bukan hanya keluarga Pak Kades, tetapi seluruh penduduk kampung itu.
Malam itu juga, aku digotong ramai-ramai ke sebuah rumah besar. Di sana, seseorang telah menunggu. Dia seorang dukun, orang asli. Aku diobati dengan cara pengobatan tradisional. Suasananya sungguh mencekam. Ada pesona kekuatan gaib yang mahadahsyat pada malam itu. Aku merasakan kehadiran iblis, malaikat, tuhan, dan roh-roh berbagai makhluk. Semua kekuatan itu bertembung dalam kibasan mayang dukun. Beratus larik mantera beterbangan dari mulutnya. Namun, waktu sudah berjalan selama lima jam, aku tak kunjung siuman. Orang-orang semua memandangku dalam keanehan yang luar biasa. Mereka berkata bahwa aku telah dirasuk oleh roh-roh warga Desa Pereban yang tenggelam oleh barel minyak dalam dolar. Roh-roh itu menuntut balas terhadap apa yang telah kulakukan pada mereka.
’’Ini gara-gara keserakahanmu, Anakku?’’ suara berat meluncur dari mulutku, tapi bukan suaraku. Aku tentu kenal dengan suaraku sendiri.
’’Siapa dirimu, hai suara yang parau?’’ dukun bertanya.
’’Aku adalah emak dan abah pemuda asing ini.’’
’’Pemuda asing? Bukankah dia anakmu?’’
’’Meskipun anak kandungku, tapi dia telah berkhianat dengan alamnya, dengan kehidupannya, dan dengan Tuhan.’’
Berbagai upaya dilakukan dukun untuk mengeluarkan roh-roh itu dari jasatku, tapi belum mampu. Mayang sudah meranggas. Mantera sudah habis. Namun, aku masih terus terkapar dalam malam hitam gelap yang panjang. Aku tak tahu kapan akan sadar dari semua ini.***


No comments:

Post a Comment

Kumpulan Sajak-sajak Willy Ana